Mempertahankan Hutan Adat di Tengah Kepungan Perkebunan Sawit

Reading time: 2 menit
Hutan Adat
Sejak tahun 1980, masyarakat mempertahankan hutan adat agar tidak dijadikan perkebunan kelapa sawit. Foto: youtube.com/SineriFilms

Judul Film: Hutan Adat “Di antara Manfaat dan Dampak”

Sutradara: Bramanta dan Bimantara

Pemain: Sunjang, Marsiana Renut, Sabinus, Dimas Angin

Tahun: 2019

Durasi: 5 Menit 59 Detik

Maraknya kebijakan pro-investasi memicu konflik agraria dan sumber daya alam di wilayah masyarakat adat. Hingga Desember 2019 tercatat 346 konflik sumber daya alam dan agraria di 166 kabupaten dan di 32 provinsi.

Melalui film dokumenter berjudul Hutan Adat “Di Antara Dampak dan Manfaat”, HuMA, sebuah Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis, menceritakan masyarakat adat Tawang Panyai yang bertahan hidup dengan memanfaatkan hutan secara mandiri. Sebab hutan adat merupakan warisan nenek moyang yang perlu dijaga dan dilestarikan.

Film yang berdurasi lima menit ini menggambarkan pentingnya hutan bagi masyarakat adat desa Tawang Panyai sebagai sumber dari segala sumber kehidupan. Selama puluhan tahun masyarakat mempertahankan hutan adat agar tidak dijadikan perkebunan kelapa sawit. Sebelum dibentuk hutan adat, kerja masyarakat berpencar-pencar. Kini setelah dibentuk, mereka bekerja secara gotong royong.

Perempuan juga turut berperan dalam mendukung pekerjaan masyarakat adat. Kegiatan para ibu di sana antara lain berladang, menoreh pohon karet, maupun kerja bakti. Dalam melestarikan hutan adat, mereka berkelompok untuk mencari rotan pohon nanas, dan buah maram.

Ketua RT 06 Dusun Tapang Kemayau menceritakan di dalam film bahwa ketika perusahaan sawit ingin membeli wilayah hutan adat, mereka dengan tegas menolak. “Kami hidup bukan dari sawit, tapi kami hidup dari bertani dan menoreh karet.”

Masyarakat Hutan Adat

Masyarakat adat bertahan hidup dengan berladang dan menoreh pohon karet di hutan adat. Foto: youtube.com/SineriFilms

Masuknya perusahaan sawit ke wilayah hutan adat pada tahun 1980 hingga 1990 ditolak secara kompak oleh masyarakat dusun. Di tahun 1997 masyarakat melakukan pemetaan wilayah masyarakat adat. Itu merupakan salah satu cara mereka mempertahankan wilayahnya.

Pembukaan lahan yang dilakukan masyarakat dengan cara membakar tetap memerhatikan kearifan lokal. Pembakaran lahan dibatasi maksimal 2 hektar dan dikelilingi oleh sekat bahan bakar sebagai pencegah penjalaran api. Setelah proses selesai, selanjutnya lahan akan ditanami varietas lokal.

Tanggal 25 Oktober 2017, di hadapan komunitas dan para pegiat hutan adat, Presiden Joko Widodo menyerahkan sembilan Surat Keputusan penetapan hutan adat. Pada 16 Maret 2017, hutan Tawang Panyai ditetapkan sebagai hutan adat seluas 40,5 hektar (ha). Meskipun begitu, perkebunan kelapa sawit seluas 1.500 hektar masih mengepung hutan adat di sana. Dengan ditetapkannya status hutan menjadi hutan adat, diharapkan kaum muda maupun masyarakat sadar untuk melestarikannya sebagai warisan anak cucu kelak.

Bima selaku sutradara dan koordinator hukum adat HuMA mengatakan dalam proses pembuatan memakan waktu cukup panjang dari Juli hingga Desember 2019 dengan dua kali pengambilan gambar. Pertama, pengambilan gambar mengenai situasi masyarakat dan kedua di dalam hutan. “Karena untuk akses ke dalam hutan memang harus ada pendamping. Sekaligus ada upacara adatnya kalau masuk hutan tersebut,” ucapnya.

Penyampaian informasi melalui film dokumenter dipilih karena dinilai lebih mudah diterima oleh masyarakat. Selanjutnya, HuMA berencana untuk terus memproduksi dokumenter secara berseri sebagai upaya mengampanyekan isu ketimpangan hukum di masyarakat adat. “HuMA akan terus mempertunjukkan atau memperlihatkan kekayaan hutan adat kepada masyarakat. Sekaligus juga argumen tanding untuk memberikan informasi Mengenai masalah lingkungan. Jadi, bukan hanya sekadar film saja, tetapi ada pesan-pesan yang muncul secara tidak langsung,” kata Bima.

Penulis : Ridho Pambudi

Top