Tim peneliti Universitas Gadjah Mada kini tengah mengembangkan alat deteksi dini penyakit tuberkolosis (TBC) berbasis Artificial Intelligence (AI). Peneliti berharap inovasi ini bisa menjadi solusi bagi Indonesia yang kini masih mengandalkan teknologi impor dalam pelaksanaan pencarian kasus TBC secara aktif.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan tahun 2022, ada lebih dari 724.000 kasus TBC baru di Indonesia. Jumlahnya pun meningkat menjadi 809.000 kasus pada tahun 2023. Jumlah tersebut jauh lebih tinggi dengan kasus sebelum pandemi, yang rata-rata penemuan kasus di bawah 600.000 per tahun.
Peneliti Pusat Kedokteran Tropis UGM, Antonia Morita I. Saktiawati mengungkapkan, bahwa timnya sedang merancang perangkat lunak berbasis AI, bernama computer-aided detection (CAD). Teknologi ini dapat membantu tenaga kesehatan dalam menganalisis hasil rontgen dada. Tujuannya untuk meningkatkan efektivitas skrining TBC secara lebih cepat dan akurat.
BACA JUGA: Mahasiswa UI Ciptakan Bahan Bakar Alkohol Ramah Lingkungan
”Kita sebenarnya memiliki kemampuan untuk mengembangkan teknologi ini sendiri, apalagi dengan jumlah kasus yang tinggi,” ujar Morita di TropmedTalk, Selasa (25/3).
Ia menambahkan bahwa penelitian ini telah berlangsung cukup lama dengan keterbatasan pendanaan. Namun, kini mendapatkan dukungan dari program KONEKSI yang diinisiasi oleh Department of Foreign Affairs and Trade (DFAT) Australia.
Tidak hanya UGM, sejumlah institusi turut berkolaborasi dalam penelitian ini. Beberapa di antaranya University of Melbourne, Monash University, dan Universitas Sebelas Maret.
Selain itu, beberapa organisasi kesehatan dan advokasi juga ikut serta. Organisasi tersebut meliputi Yayasan Pengembangan Kesehatan dan Masyarakat Papua (YPKMP), serta Sentra Advokasi Perempuan, dan Difabel dan Anak (SAPDA).
Pemerataan Akses Kesehatan
Berita UGM melansir bahwa selain bertujuan meningkatkan akurasi diagnosis, penelitian ini juga berfokus pada pemerataan akses layanan kesehatan bagi seluruh masyarakat. Morita menyoroti bahwa kelompok rentan, seperti perempuan, anak-anak, penyandang disabilitas, serta masyarakat di daerah terpencil, masih menghadapi tantangan besar dalam memperoleh layanan TBC yang memadai.
Di banyak daerah di Indonesia, budaya patriarki juga masih menjadi hambatan bagi perempuan dalam mengakses layanan kesehatan. Hal itu termasuk dalam pemeriksaan dan diagnosis TBC.
Sementara itu, kelompok lain seperti penyandang disabilitas, sering kali mengalami kendala baik dari segi fisik maupun sosial, dalam mendapatkan pemeriksaan dan pengobatan yang dibutuhkan.
Morita pun menyambut baik langkah Kementerian Kesehatan, dalam menerapkan active case finding (ACF) di 25 kabupaten dan kota, yang telah meningkatkan angka deteksi kasus TBC sebesar 2-7 persen pada tahun 2024.
BACA JUGA: Mahasiswa UGM Ciptakan Pemecah Gelombang, Juara di Kompetisi Nasional
Ia berharap program ini dapat meluas hingga ke daerah terpencil. Sehingga, seluruh masyarakat, terutama kelompok rentan, dapat memperoleh layanan kesehatan yang setara.
Morita juga berharap Teknologi computer-aided detection (CAD) berbasis AI yang tengah dikembangkan, mampu membantu tenaga kesehatan dalam menganalisis hasil rontgen dada dengan lebih efisien. Khususnya, di wilayah dengan keterbatasan tenaga medis seperti radiolog.
“Saya yakin dengan dukungan inovasi teknologi serta kebijakan yang inklusif, target eliminasi TBC di Indonesia dapat lebih cepat tercapai,” tambahnya.
World Health Organization (WHO) juga menargetkan cakupan deteksi mencapai 100 persen dengan memanfaatkan teknologi seperti CAD. Tanpa deteksi yang tepat waktu, penderita TBC berisiko tidak mendapatkan pengobatan yang diperlukan. Akibatnya bisa berujung pada kematian serta meningkatkan penyebaran penyakit ke orang lain.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia