AER Movement Gandeng Anak Muda untuk Perubahan Lingkungan

Reading time: 3 menit
Aktivitas lingkungan AER Movement dorong perubahan masyarakat ke arah yang lebih baik. Foto: AER Movement

Jakarta (Greeners) – Sampah masih menjadi permasalahan lingkungan yang tak hanya terjadi di  masyarakat kota, tapi juga seluruh pelosok nusantara. Seperti halnya di Kabupaten Buru, Provinsi Maluku. Tergerak karena keresahan yang sama, lima anak muda Maluku berinisiatif membuat wadah berupa komunitas bernama Academy of Environmental Recovery (AER) Movement.

Komunitas yang berdiri Juli tahun 2021 ini merupakan wadah pergerakan dan kreatifitas anak muda yang berfokus pada isu lingkungan. Tujuannya, mewujudkan masyarakat yang tanggap untuk bertindak menciptakan kebiasaan baru dalam melestarikan lingkungan.

Wakil Ketua AER Movement Nindy Putri mengatakan, komunitas ini ia dirikan secara tak sengaja bersama empat teman sekolahnya. Berawal masih banyaknya sampah di Pulau Buru, mereka berinisiatif membentuk komunitas ini.

“Saat itu pandemi Covid-19, kita melihat bahwa permasalahan sampah di sini sama dengan di kota. Masih banyak yang salah dalam mengelola sampah,” katanya dalam Kupas Komunitas bersama Greeners, baru-baru ini.

Misalnya kata dia, masih banyak masyarakat di Pulau Buru yang melakukan pembakaran sampah. Cara tersebut memang solutif menghilangkan sampah secara instan, tapi sambung Nindy itu justru berdampak pada pencemaran udara.

Dorong Kebiasaan Baru Lewat 3T

Nindy bersama empat kawannya berkomitmen untuk mewujudkan masyarakat yang tanggap untuk bersama menuju penciptaan kebiasaan baru melestarikan lingkungan. Melalui misi mereka 3T yakni tanggap, tindak dan terbiasa mereka bergerak secara nyata untuk menyadarkan akan bahaya sampah.

T pertama yakni tanggap dalam merespon isu lingkungan yang ada di sekitar. T kedua yaitu tindak berupa aksi nyata untuk memberikan contoh ke masyarakat. Sedangkan T ketiga yaitu menularkan gerakan dan aksi positif terhadap lingkungan sehingga masyarakat akan terbiasa.

Berbagai program nyata komunitas ini telah lakukan, baik secara online maupun offline. Program online berupa workshop, talkshow tour ke berbagai sekolah dan universitas. Sementara program offline berupa aksi bersih pantai dan menggalakkan puasa plastik.

Puasa plastik saat Ramadan fokus pada pengurangan kebiasaan menggunakan plastik di dalam masyarakat. Nindy menyadari manusia tidak bisa terlepas dari plastik. Oleh karenanya ada upaya puasa plastik.

“Filosofinya seperti halnya kita puasa yaitu menahan makan dan minum. Kalau puasa plastik berarti kita menahan menggunakan plastik dan mengganti dengan opsi lain yang ramah lingkungan,” tutur dia.

Nindy menegaskan, di awal pergerakan komunitas AER Movement lebih menekankan terkait isu sampah. Ini tak lain karena berawal dari sampahlah, isu-isu lingkungan lain menyebar. Misalnya terkait dengan perubahan iklim imbas dari sampah organik berupa sisa makanan. Sisa makanan dapat menghasilkan gas metana dan berimbas pada perubahan iklim.

Nindy juga menyebut, bahwa di Indonesia, sampah jenis ini masih mendominasi dibanding jenis lainnya. “Sampah juga sangat dekat dengan kehidupan kita makanya kita bergerak dari sampah dulu,” ujarnya.

Generasi muda AER Movement gandeng sebagai penggerak misi mereka. Foto: AER Movement

Gandeng Generasi Muda untuk Perubahan Lingkungan

Komunitas ini memiliki 13 anggota tetap dan 72 relawan dari berbagai pelosok nusantara. Nindy menyebut, sebagian besar mereka yang aktif terlibat dalam komunitas ini yaitu generasi muda aktif dan produktif. Sama halnya dengan semangat mereka, Nindy menyatakan, peran generasi muda ini sangat penting dalam membangun perubahan lingkungan.

“Generasi muda masih banyak idenya, istilahnya kita beri otak mereka bahwa ternyata ada masalah lingkungan dan harus menjadi tanggung jawab mereka. Dari segi produktifitas dan waktu, generasi muda ini masih tinggi. Kita pikir anak muda ini yang melahirkan generasi-generasi selanjutnya,” papar dia.

Kendati demikian, tak mudah untuk mengajak generasi muda aktif dalam isu lingkungan, terutama anak muda usia produktif 20-30 tahun. Beberapa di antara mereka telah memiliki kepentingan sendiri dan tak mau untuk terlibat dalam gerakan lingkungan. “Padahal dengan menjamin keberlanjutan lingkungan berarti memastikan kehidupan generasi kita selanjutnya. Mindset ini yang harus ditanamkan,” tuturnya.

Berbagai pendekatan dilakukan untuk merangkul mereka, misalnya melalui kampanye dengan lebih inovatif dengan menggunakan konten menarik dan bahasa gaul yang dekat dengan mereka. Cara lain yakni dengan menghadirkan pemuda dan publik figur sebagai narasumber talkshow agar related dengan mereka.

Penulis : Ramadani Wahyu

Editor : Ari Rikin

Top