Kajian : 300 Juta Jiwa Berpotensi Terdampak Banjir di Tahun 2050

Reading time: 2 menit
Hari Pengurangan Bencana Internasional, BNPB Tagih Keterlibatan Semua Pihak
Banjir menjadi ancaman saat curah hujan tinggi. Memburuknya kondisi lingkungan turut memperparah tingkat kejadiannya. Foto: Shutterstock.

Jakarta (Greeners) – Perubahan iklim bisa berdampak buruk hingga menyebabkan lebih dari 300 juta orang terdampak banjir pada tahun 2050 nanti. Ironisnya, banjir bakal memperburuk layanan sanitasi.

Dalam keterangannya, Ketua Program Studi (Prodi) Teknik Lingkungan Universitas Indonesia Cindy menyatakan, banjir berulang sebagai dampak dari kenaikan muka air laut akibat dari perubahan iklim.”Banjir tersebut akan berdampak terhadap akses layanan sanitasi,” kata dia, Kamis (8/9).

Pernyataan Cindy ini berdasarkan hasil Lokakarya Analisis Dampak Iklim dan Metode Penentuan Prioritas Adaptasi di Banjarmasin. Lokakarya terselenggara atas kerja sama tim Universitas Indonesia (UI), Institute for Sustainable Futures, University of Technology Sydney (UTS-ISF), bersama Universitas Muhammadiyah Banjarmasin (UMB) di Banjarmasin, baru-baru ini.

Cindy mengungkap, lokakarya ini bertujuan untuk mengimplementasikan kerangka kerja (framework) tim pengabdi. Tujuannya untuk identifikasi risiko akibat kenaikan muka air laut serta rencana adaptasi yang efektif untuk sektor sanitasi.

Kegiatan ini merupakan bentuk pengabdian masyarakat dari para periset asal Fakultas Teknik UI (FTUI) yang Cindy Rianti Priadi pimpin.

Panitia acara juga mengundang para pengambil keputusan dari Pemerintah Daerah Banjarmasin. Perwakilan tersebut yakni dari Organisasi Perangkat Daerah (OPD), Dinas PUPR, Dinas Lingkungan Hidup, dan Perumda PAL setempat.

Warga Terdampak Banjir Alami Sanitasi Buruk

Dalam paparannya bertajuk “Perubahan Iklim, Kenaikan Permukaan Laut, dan Sanitasi”, Jeremy Kohlitz dari UTS-ISF menyampaikan beberapa contoh dampak kenaikan permukaan laut terhadap sanitasi.

Ia menyebut, masuknya air laut/air banjir ke tanki septik, toilet yang tidak bisa disentor (flush), serta masuknya puing-puing akibat banjir ke dalam tanki septik.

“Tantangan masyarakat adalah bagaimana membangun ketahanan dalam menghadapi perubahan iklim dan sanitasi. Ketahanan diartikan sebagai kapasitas dari sistem untuk terus berfungsi meskipun terpapar bahaya iklim,” kata dia.

Anggota tim pengabdian masyarakat UMB, Fitri Wulandari menambahkan, dari sisi masyarakat, adaptasi dalam menghadapi banjir yaitu perubahan perilaku, perubahan fisik atau lingkungan dan migrasi.

Akses air bersih

Akses air bersih dan sanitasi punya peran menurunkan angka stunting di Indonesia. Foto: Shutterstock

Apresiasi Hasil Kajian

Asisten Walikota Kota Banjarmasin, Doyo Pudjadi sangat mengapresiasi hal yang dilakukan UI dan para mitranya. Ia berharap dengan adanya kegiatan ini, para perangkat daerah di Kota Banjarmasin dapat memahami bahaya iklim terhadap sanitasi.

“Peserta juga harapannya dapat bersungguh-sungguh mengimplementasikan rencana aksi. Salah satunya yang telah lokakarya ini buat sehingga sanitasi kota kita menjadi lebih baik kedepannya,” paparnya.

Sementara itu, Dekan FTUI, Heri Hermansyah menyebut, program studi teknik lingkungan FTUI telah menjalin kemitraan dengan universitas mitra baik dari dalam maupun luar negeri yang mendukung agenda pemerintah Indonesia.

“Agendanya mulai dari meningkatkan akses air minum, sanitasi, dan kebersihan di seluruh negeri,” imbuhnya.

Kemitraan ini mencakup penelitian tentang sanitasi perkotaan yang tahan perubahan iklim dan kualitas air minum. Ia menyatakan, kedua studi tersebut telah menghasilkan bukti yang jelas untuk advokasi dan rekomendasi bagi seluruh kota di Indonesia.

Penulis : Ramadani Wahyu

Editor : Ari Rikin

Top