Lingkungan dan Ruang Gerak Remaja Perkotaan Belum Memadai

Reading time: 2 menit
Remaja butuh ruang sosial yang memadai untuk membangun kreativitas. Foto: Freepik

Jakarta (Greeners) – Guru Besar Emiritius Kajian Pengembangan Perkotaan Universitas Indonesia Gunawan Tjahjono menilai, remaja merupakan kelompok paling rentan di Jakarta. Selain hak udara dan air terabaikan, fasilitas dan kebutuhan remaja yang aktif, ekspresif dan penuh energi juga terbatas.

Ini terbukti dengan warisan fasilitas remaja yang stagnan. “Jakarta sempat mewarisi 44 gelanggang olahraga remaja (GOR) pada saat penduduknya 3,5 juta jiwa. Sayangnya jumlah ini belum banyak berubah meski penduduknya telah tiga kali lipat,” katanya dalam diskusi bertajuk “Rembuk Kota: Adilkah Kita”, baru-baru ini.

Di lain sisi, justru pembangunan gedung-gedung komersial semakin pesat, seperti pembangunan mall yang saat ini berjumlah 76 titik di Jakarta.

Jika hak penyaluran energi remaja diabaikan, hak menghirup udara tercemar dan hak atas air juga diabaikan maka tak heran jika semakin banyak aksi-aksi negatif remaja perkotaan.

“Misalnya saat ini tawuran semakin banyak di Jakarta. Menurut data BPS tahun 2020, ada sekitar 113 di Jakarta,” imbuhnya.

Hak Air dan Udara Krusial

Selain itu, ia menyebut setidaknya terdapat dua unsur vital kebutuhan remaja dan masyarakat secara umum di kota, yakni hak air dan udara.

“Hanya dedaunan mampu membersihkan udara dan akar tanaman serta sumur resapan mampu mengonservasi air. Maka tanaman dalam ruang terbuka hijau (RTH) berperan vital bagi kehidupan,” tuturnya.

Namun, pada faktanya RTH di kota-kota besar termasuk Jakarta semakin berkurang. “Berdasarkan laporan Ditjen Tata Ruang, Jakarta, Bogor dan Surabaya pada tahun 1970-an memiliki 35 % RTH tapi pada tahun 2006 tersisa kurang dari 10 %,” ucapnya.

Ia juga menyorot Pj Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono mengklaim telah membangun 235 taman selama tiga bulan. “Meski begitu, sebaran dan evaluasinya seperti apa? Sementara saat ini banyak pembangunan komersial juga di Jakarta,” ungkapnya.

Oleh karena itu, penataan ruang harus mendorong keadilan dari berbagai lapisan melalui berbagai perembukan bahkan pada tingkatan paling kecil.

Taman Cattleya, salah satu taman di DKI Jakarta yang menarik dikunjungi. Foto: Greeners

Pembangunan Kota Berbasis Komunitas

Sosiolog dari Universitas Indonesia Paulus Wirutomo juga berpendapat, pentingnya pembangunan kota berbasis kekuatan komunitas dalam tingkat terkecil seperti RT dan RW. Hal ini untuk mengatasi pengelolaan sampah, bagian dari permasalahan kota urban di Jakarta.

“Sampah kita tercecer ke mana-mana. Kalau setiap RT dan RW punya dana dan bisa mengelola sampahnya sendiri maka kita bisa mandiri,” kata Paulus.

Permasalahan sampah telah menjadi masalah serius sama halnya dengan masalah pengangguran, kesenjangan, hingga pembangunan yang tak mengakar.

Komunitas di tingkat kecil ini nantinya mewadahi berbagai kebutuhan masyarakat, mulai dari sarana seni budaya seperti gelanggang olahraga, pertunjukan, pengembangan SDM.

Kemudian juga pemberdayaan ekonomi koperasi hingga pasar lokal. Lalu ada sistem keamanan lingkungan, pengelolaan sampah berbasis komunitas hingga perpustakaan komunitas. Dalam hal ini, sambungnya diperlukan pula dasar hukum berupa peraturan daerah RT/RW.

“Di Singapura, RT dan RW-nya masing-masing memiliki community center dan menjadi kekuatan mendidik kita sebagai manusia kota,” ujarnya.

Penulis : Ramadani Wahyu

Editor : Ari Rikin

Top