Mengintip Gerakan Ekonomi Sirkular Warga di Pulau Komodo

Reading time: 3 menit
galon sekali pakai
Aktivis Soroti Produsen sebagai Sumber Masalah Sampah Plastik. Foto: Shutterstock.

Jakarta (Greeners) – Gerakan lingkungan hidup yang semakin masif di negara-negara maju berhasil mendesak terciptanya model bisnis baru. Model bisnis ini disebut ekonomi sirkular. Tadinya, dunia hanya berpaku pada model bisnis linear, yakni make-use-dispose. Pada model bisnis lienar, produsen menghasilkan produk yang digunakan oleh konsumen untuk kemudian dibuang begitu saja. Model bisnis ekonomi sirkular menghadirkan alternatif. Alih-alih membuang hasil produksi begitu saja, model ekonomi sirkular menyimpan sumber daya untuk digunakan selama mungkin.

Pada penerapan ekonomi sirkular, barang diproduksi dengan menggunakan nilai maksimal dari bahan baku. Setelah digunakan, sisanya tidak dibuang begitu saja. Di akhir masa pakai, kondisi produk dipulihkan dan diregenarisasi. Negara-negara Eropa seperti Jerman, Inggris, dan Prancis sudah menerapkan model ini, salah satunya dengan menggenjot sistem daur ulang.

Ekonomi sirkular pun kini masuk ke Tanah Air. Sama seperti di negara-negara Eropa, pengelolaan sampah menjadi salah satu aspek ekonomi sirkular yang digaungkan pemerintah. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya menekankan pengelolaan sampah menjadi tanggung jawab semua pihak. Siti pun mengapresiasi setiap pihak yang telah mengurangi sampah menjadi salah satu mata rantai dari konsep ekonomi sirkular.

“Pemerintah mendukung penuh partisipasi seluruh pihak yang mengonversi sampah menjadi material dengan manfaat berkelanjutan bagi masyarkat dan lingkungan,” ujar Siti dalam sambutan video Gerakan Ekonomi Sirkular di Pulau Komodo, Rabu (07/10/2020).

Pada kesempatan yang sama, Siti mengapreasi Le Minerale yang memulai langkah strategis untuk mendukung pengelolaan sampah plastik di Pulau Komodo. Adanya gerakan ini diharapkan dapat mengatasi masalah sampah plastik khususnya di Pulau Komodo yang akan menjaga perekonomian masyarakat dari sektor pariwisata.

Baca juga: Jelang Sumpah Pemuda, Pojok Iklim Ajak Generasi Muda Teruskan Estafet Pelestarian Alam

KLHK Imbau Produsen Patuhi Peta Pengurangan Sampah

Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Berbahaya dan Beracun (PSLB3), Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK), Rossa Vivien Ratnawati meminta Gerakan ekonomi sirkular bisa juga dilaksanakan di tempat lain. Selain itu, Rossa menagih upaya konkret para pengusaha agar ekonomi sikular bisa berkelanjutan dan berkualitas.

Khusus untuk para produsen, Rossa mengaku pihaknya telah membuat peta jalan pengurangan sampah bagi produsen. Dalam peta jalan tersebut para produsen diharapkan bisa mendesain ulang kemasan produknya dengan konsep reduce, reuse, recycle (3R). Selain meminta para produsen menarik kembali produk dengan kemasan yang belum berkonsep 3R, dia meminta para produsen juga membuat rancangan sendiri terkait pengelolaan sampah dari produk-produknya.

“Produsen juga harus ada peta jalan pada pengurangan sampah agar tidak jadi beban bagi lingkungan sebab ditimbun dan dibuang,” jelasnya.

Mengintip Gerakan Ekonomi Sirkular Warga Di Pulau Komodo

Rossa Vivien Ratnawati mengingatkan produsen untuk mematuhi peta jalan pengurangan sampah. Foto: Shutterstock.

Baca juga: METI Luncurkan Konvensi Energi Terbarukan Virtual

Daur Ulang Plastik dan Polemik Galon Sekali Pakai

Sebelumnya, Greeners memberitakan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menolak adanya penggunaan galon sekali pakai oleh produsen Air Minum Dalam Kemasan (AMDK). YLKI menilai pemasaran galon sekali pakai berpotensi merusak lingkungan. Lebih jauh, YLKI mereken galon sekali pakai bertentangan dengan rencana pemerintah dalam pengendalian plastik sekali pakai pada produk makanan dan minuman. YLKI mengkritik produsen yang belum melakukan kewajiban untuk menarik kembali kemasan produknya. Padahal, kewajiban tersebut telah tertuang dalam kebijakan Extended Producer Responsibility (EPR).

Menanggapi protes YLKI, Ketua Umum Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (ADUPI), Christine Halim, menyoroti paradigma masyarakat terkait plastik berbahan baku polietilen tereftalat (PET). Plastik PET yang digunakan pada botol dan galon sekali pakai, menurutnya, adalah bahan yang paling ramah lingkungan dibandingkan jenis plastik lainnya. Dia bersaksi, plastik PET paling mudah di daur ulang.

Selain itu, Christine menambahkan sampah plastik PET harus dilihat dan diperlakukan sebagai bahan baku, bukan sampah yang tidak bernilai. Industri daur ulang, lanjutnya, memerlukan sampah plastik dalam jumlah besar. Terutama jenis PET dengan kode 1 seperti yang dipakai botol dan galon sekali pakai.

“Karena harganya mahal, sampah plastik PET menjadi rebutan para pemulung dan sulit ditemukan di tempat pembuangan akhir,” ungkapnya.

ADUPI Serukan Masyarakat untuk Memilah Sampah

Christine menyebut hasil daur ulang dari plastik PET adalah komoditas bernilai ekonomi tinggi seperti polyester, dakron sintetis, geotextile, bantal, baju winter, kancing. Plastik PET, lanjutnya, dapat didaur ulang hingga 50 kali dan menghemat bahan baku produksi. Tren permintaan ekspornya pun terus naik.

“Karena itu kami mengimbau masyarakat melakukan pemilahan sampah dari rumah, bekerja sama dengan bank sampah atau petugas pemilahan sampah, agar plastik tersebut menjadi sumber ekonomi berkelanjutan,” ajarnya.

Sementara itu, Sustainability Manager, Le Minerale, Febri Hutama menjelaskan untuk menarik kembali kemasan produk dan menangani isu sampah, pihaknya menghidupkan dan mempercepat proses ekonomi sirkular yang terintegrasi dengan menggandeng banyak pihak.

Dia mengaku perusahaannya bekerja sama dengan pemerintah dan lapisan masyarakat. Sebagai komitmen dalam melaksanakan ekonomi sirkular, Febri dan tim menyusun peta jalan plastic sustainability. Salah satu poin dalam rancangan plastic sustainability adalah penarikan sampah plastik lebih besar daripada yang dihasilkan.

“Jika komitmen ini diterapkan oleh semua industri maka kita akan melihat sebuah kemajuan yang sangat pesat di bidang penanganan sampah plastik,” tutupnya.

Pada Gerakan Ekonomi Sirkular di Pulau Komodo, Le Minerale bekerja sama dengan Indonesian Waste Platform (IWP) dan Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (ADUPI). IWP bertugas mengedukasi masyarakat Pulau Komodo, serta mengumpulkan dan memilah sampah plastik. Sedangkan ADUPI mengelola sampah plastik menjadi produk baru yang bernilai ekonomi tinggi.

Penulis: Muhammad Ma’rup

Editor: Ixora Devi

Top