NDC Terbaru Indonesia Tak Menjawab Ancaman Krisis Iklim

Reading time: 2 menit
Aksi mendorong penghentian penggunaan energi fosil. Foto: greeners.co/Danny Kosasih

Jakarta (Greeners) – Enhanced National Determined Contribution (NDC) atau NDC terbaru Indonesia dalam target pengurangan emisi terbaru jauh dari harapan publik. Target ini tidak menjawab komitmen melepas energi fosil dan belum melindungi Indonesia dari ancaman krisis iklim.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah mengumumkan peningkatan target pengurangan emisi dari 29 % dengan usaha sendiri di tahun 2030 menjadi 31,89 %. Demikian pula target dengan bantuan internasional yang awalnya 41 % menjadi 43,2 %.

Dalam keterangannya, pengkampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Adila Isfandiari menyayangkan, pembahasan dalam enhanced NDC berlangsung tertutup. Demikian pula rencana rencana pensiun dini PLTU yang belum tertuang dalam rencana mitigasi enhanced NDC.

“Padahal pensiun dini PLTU sangat perlu secepatnya untuk memberikan ruang bagi pengembangan energi terbarukan di tengah kondisi kelebihan pasokan listrik,” katanya baru-baru ini.

Langkah ini, sambung dia jauh lebih baik daripada menyuruh masyarakat menambah daya dan mendorong penggunaan energi listrik berlebihan.

Masih Memakai Energi Batu Bara

Menurutnya, Indonesia justru menerapkan kebijakan yang bertentangan dengan ketentuan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC). Di dalamnya ada rekomendasi pengurangan batu bara dalam sektor kelistrikan sebesar 80 % tahun 2030.

Selain itu juga melakukan phase out batu bara pada tahun 2040. Sementara Indonesia masih mengizinkan penggunaan batu bara minimal 30 % pada tahun 2025 dan 25 % di tahun 2050.

Pemerintah juga merencanakan penggunaan co-firing pada PLTU batu bara dengan kebutuhan 9 juta ton biomassa. Padahal, berdasarkan analisis Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), penggunaan biomassa jumlah besar berimbas pada kebutuhan industri biomassa skala besar dengan tantangan teknis dan finansial yang besar pula.

Pencampuran 5 % biomassa untuk co-firing hanya akan mengurangi emisi CO2 pada PLTU sebesar 3,2 % saja. Belum termasuk risiko jejak karbon pada perluasan lahan untuk biomassa, proses produksi pellet dan juga distribusi.

Enhanced NDC juga masih mencantumkan solusi palsu yaitu penggunaan B-40 sebesar 100 % pada 2030 yang tidak akan mengurangi emisi karbon secara signifikan dari sektor energi,” imbuhnya.

Kondisi salah satu PLTU di Pulau Jawa. Foto: Shutterstock

Ancaman Krisis Iklim dari Hutan yang Tersisa

Berdasarkan laporan Greenpeace bersama LPEM Universitas Indonesia, implementasi B-40 akan semakin mempercepat ekstensifikasi lahan sawit. Hal ini berpotensi memperluas lahan baru dan mengancam luasan hutan tersisa.

Sebagai negara yang termasuk dalam daftar lima besar negara dengan akumulasi emisi terbesar dalam periode tahun 1850-2021, Indonesia seharusnya menerapkan komitmen iklim yang lebih ambisius.

Terlebih lagi Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat rentan terhadap ancaman krisis iklim. Berdasarkan laporan Bank Indonesia, potensi kerugian ekonomi akibat krisis iklim dapat mencapai 40 % dari PDB Indonesia di 2050.

“Pemerintah Indonesia seharusnya memperkuat komitmen iklim. Berhenti mengadopsi solusi-solusi palsu yang justru memberikan karpet merah dan keuntungan bagi perusak lingkungan” pungkasnya.

Penulis : Ramadani Wahyu

Editor : Ari Rikin

Top