Jakarta (Greeners) – Sebanyak 108 daerah aliran sungai (DAS) di Indonesia berada dalam kondisi kritis dan perlu ditangani serius. Jika tidak dibenahi, kondisi kritis ini akan memicu bencana banjir bandang seperti yang terjadi di Sungai Cimanuk, Garut, Jawa Barat.
Dirjen Pengelolaan DAS dan Hutan Lindung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Hilman Nugroho mengatakan, 108 DAS ini adalah DAS prioritas yang akan ditangani dari 17 ribu DAS di Indonesia. Sedangkan dari 108 DAS prioritas tersebut, terdapat 15 DAS yang masuk dalam rencana aksi strategis (Renstra) KLHK periode 2015-2019.
“Sejak tahun 2015, yang sudah ditangani ada delapan DAS, yaitu DAS Citarum, DAS Ciliwung, DAS Cisadane, DAS Serayu, DAS Solo, DAS Berantas, DAS Saddang dan DAS Limboto,” terang Hilman di Jakarta, Sabtu (24/09).
BACA JUGA: Banjir Bandang di Garut Akibat Rusaknya DAS Cimanuk
Hilman menyatakan, untuk tahun 2016, KLHK masih akan melanjutkan penanganan kedelapan DAS tersebut dengan penambahan satu DAS baru yaitu DAS Kapuas. Ke 15 DAS yang masuk dalam Renstra KLHK 2015-2019 adalah DAS Siak, DAS Musi, DAS Asahan Toba, DAS Jeneberang, DAS Moyo, DAS Way Sekampung, DAS Citarum, DAS Ciliwung, DAS Cisadane, DAS Serayu, DAS Solo, DAS Berantas, DAS Saddang, DAS Limboto dan DAS Kapuas.
Hilman tak menampik jika banjir bandang yang terjadi di Garut bisa saja karena sedimentasi yang terjadi di Sungai Cimanuk yang sangat masif, di samping curah hujan yang cukup tinggi.
Menurut dia, langkah itu sebenarnya sudah dilakukan di Sungai Cimanuk dengan menanam jenis tanaman berakar serabut di pesisir sungai. “Tapi yang selama ini ditanam kebanyakan adalah jenis sayur-sayuran,” ujarnya.
Di sisi lain, peneliti utama hidrologi dan pengelolaan DAS di BPPT dan dosen Pascasarjana UI Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, bencana banjir bandang yang terjadi di Garut merupakan salah satu potret buruknya pengelolaan DAS Cimanuk.
Saat ini, kerusakan DAS di Indonesia sangat luar biasa. Dari 450 DAS di Indonesia, 118 DAS dalam kondisi kritis. Jika pada tahun 1984 hanya terdapat 22 DAS Kritis dan Super Kritis, maka tahun 2007 sekitar 80 DAS yang Super Kritis dan Kritis. DAS Cimanuk sudah tergolong kritis sejak 1984. Kondisinya makin rusak akibat intervensi manusia yang makin masif merusak DAS.
“Respon dari kerusakan DAS tersebut adalah semakin sensitifnya lingkungan terhadap komponen yang ada dalam sistem lingkungan. Ketika hujan mudah banjir dan longsor, sebaliknya ketika kemarau demikian mudahnya terjadi kekeringan,” tambahnya.
Sutopo menjelaskan, dampak banjir bandang hingga Jumat (23/09/2016) siang, terdapat 27 jiwa tewas, 22 jiwa hilang, 32 jiwa luka, dan 433 jiwa mengungsi. Sedangkan kerusakan rumah adalah rumah rusak berat 154 unit, rusak sedang 19 unit, rusak ringan 33 unit, terendam 398 unit, dan hanyut 347 unit.
BACA JUGA: Bencana Banjir dan Longsor, Pengelolaan DAS Belum Maksimal
Upaya pengelolaan DAS, menurut Sutopo, masih terus dilakukan. Namun ternyata hasilnya belum signifikan. Permasalahan dalam teknologi pengelolaan DAS pada umumnya adalah masalah pemeliharaan setelah proyek berakhir. Berbagai proyek konservasi tanah skala besar di Jawa seperti Proyek Citanduy II, Upland Agriculture and Conservation Project/UACP, dan Land Rehabilitation and Agroforestry Development mempunyai masalah yang sama yakni pemeliharaan teras merosot drastis setelah proyek selesai.
“Pemeliharaan terasering secara terus-menerus tanpa subsidi setelah proyek berakhir tidak dapat dilakukan oleh petani, khususnya petani lahan kering karena besarnya biaya yang diperlukan. Akibatnya, proyek tersebut tidak berkelanjutan dan akhirnya kurang efektif,” tutupnya.
Penulis: Danny Kosasih