Ancaman La Nina, Pemerintah Siaga Hadapi Bencana Hidrometeorologi

Reading time: 3 menit
La Nina ditandai peningkatan curah hujan bisa menyebabkan banjir dan longsor di daerah rawan bencana. Foto: Shutterstock

Jakarta (Greeners) – Pemerintah mulai meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi potensi bencana hidrometeorologi seiring munculnya ancaman La Nina selama periode musim hujan. La Nina ditandai peningkatan curah hujan yang cenderung ekstrem.

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memperkirakan La Nina berlangsung dan mencapai puncaknya Februari 2022. Saat ini intensitas La Nina mendekati moderat, itu artinya curah hujan meningkat dan cenderung ekstrem selama periode musim hujan. Kondisi ini memicu potensi bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor, banjir bandang dan puting beliung.

Kepala BMKG Dwikorita Karnawati melaporkan status terkini anomali suhu muka laut pada dasarian III September 2021, bagian tengah di Samudra Pasifik telah melewati ambang batas La Nina. Nilai anomali pada dasarian III September, dasarian I Oktober dan dasarian II Oktober berturut-turut yaitu -0,63, -0,61 dan -0,92.

“Suhu muka laut di Samudra Pasifik ekuator semakin mendingin lagi, yang saat ini anomalinya sudah mencapai minus 0,92, yang tadinya baru minus 0,63. Ini mengidentifikasikan penguatan insensitas La Nina. Apabila mencapai 1, artinya sudah mulai terjadi La Nina dengan insensitas moderat. Artinya penguatan ini semakin meningkat,” kata Dwikorita dalam Rakornas Antisipasi La Nina, di Jakarta, baru-baru ini.

Berbagai pusat layanan iklim di dunia seperti National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) dan Bureau of Meteorology Australia juga memprediksi bahwa La Nina akan terjadi hingga level moderat sampai dengan Februari 2022. Dengan prediksi puncaknya akan terjadi pada Januari dan Februari 2022.

“Berdasarkan evaluasi La Nina tahun lalu yang insensitasnya serupa dengan yang diprediksi saat ini lemah hingga moderat, tahun lalu La Nina mengakibatkan peningkatan curah hujan dari 20 persen hingga 70 persen di atas normalnya yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia,” paparnya.

BNPB Perkuat  Mitigasi Bencana 

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Ganip Warsito mengungkapkan, kewaspadaan serta mitigasi dampak La Nina yang menyebabkan curah hujan meningkat ini terus BNPB lakukan.

Curah hujan ini dapat menjadi salah satu pemicu bencana hidrometeorologi basah, seperti banjir dan tanah longsor. Namun faktor lain dapat berkontribusi sebagai pemicu bencana tersebut, seperti gangguan kestabilan lereng atau pemanfaatan lahan tanpa adaptasi kondisi geologi lokal.

Ganip menambahkan, saat ini BNPB sudah memulai kesiagaan dalam menghadapi bencana hidrometeorologi basah dampak ancaman La Nina.

“Penanganan vegetasi, pembersihan saluran air, pembenahan tanggul sungai, penguatan lereng menggunakan beton maupun vegetasi serta optimalisasi drainase perlu terus kita lakukan. BNPB melalui komunitas masyarakat dan BPBD kabupaten/kota dan provinsi terus akan melakukan upaya-upaya ini,” paparnya.

Terdapat sejumlah provinsi yang menjadi perhatian BNPB karena memiliki kerawanan tinggi bencana hidrometeorologi. Untuk Provinsi Jawa Barat, kabupaten/kota yang menjadi perhatian atas kejadian bencana yang tinggi di antaranya Kabupaten Bogor, Sukabumi dan Bandung.

Sedangkan di Jawa Tengah yakni Kabupaten Cilacap, Semarang dan Banyumas. Kemudian untuk Provinsi Jawa Timur yaitu Kabupaten Ponorogo, Trenggalek dan Situbondo. Selanjutnya di Provinsi Sulawesi Selatan yaitu Kabupaten Baeteng, Barru dan Bone.

BNPB perkuat mitigasi bencana pada daerah rawan bencana hidrometeorologi. Foto: Shutterstock

Pencegahan Karhutla Selama La Nina

Selain kesiapsiagaan menghadapi ancaman La Nina, pemerintah juga sudah menyiapkan sejumlah langkah selama La Nina terjadi. Salah satunya ancaman bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla) saat musim kemarau.

Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong mengungkapkan, meskipun La Nina menyebabkan curah hujan meningkat namun masih terdapat sejumlah daerah tertentu yang justru mengalami kekeringan. Sehingga pemerintah harus tetap waspada terhadap karhutla saat La Nina terjadi.

“Faktanya berdasarkan analisis BMKG, meskipun kondisi La Nina biasanya curah hujan meningkat, ada daerah-daaerah tertentu di wilayah kita ini yang justru mengalami adanya kekeringan. Sehingga kita harus tetap waspada selama La Nina ini kemungkinan terjadinya karhutla,” kata Alue.

Hasil pantauan hotspot KLHK sepanjang tahun 2021 berdasarkan Satelit Terra dan Aqua yang tersebar di 1.347 titik menunjukkan penurunan lahan karhutla yang sangat signifikan. Apabila dibandingkan dengan tingkat hotspot tahun 2015, maka penurunan yang terjadi mencapai 91%.

Alue menambahkan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) meningkatkan pemantauan hotspot secara intensif khususnya pada sejumlah daerah rawan karhutla.

“Kita harus tetap meningkatkan upaya pemantauan hotspot secara intensif khususnya pada daerah-daerah rawan karhutla kemudian disertai pengecekan verifikasi hotspot di lapangan. Kedua, memantau dan menganalisi prediksi cuaca harian misalnya curah hujan hingga kelembapan suhu dan seterusnya, serta potensi karhutla dari BMKG,” paparnya.

Patroli pencegahan karhutla pada Januari-Maret 2022 akan berlangsung di Aceh, Sumatera Utara, Riau dan Kalimantan Barat. Pada bulan April-Juni 2022 di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan. Kemudian pada Agustus hingga Oktober 2022 di seluruh provinsi rawan karhutla.

Sementara itu, dalam Rakornas Antisipasi La Nina, tersusun rencana aksi terintegrasi antarkementerian dan lembaga pusat hingga daerah. Rencana aksi ini memuat langkah mitigasi dampak ancaman La Nina khususnya di sektor pertanian, perhubungan, infrastruktur, lingkungan hidup dan kebencanaan.

Penulis : Fitri Annisa

Top