Seminar Arsitektur Berkelanjutan; Arsitektur Tradisional untuk Bangunan Berkelanjutan

Reading time: 2 menit

Jakarta (Greeners) – Bangunan berkelanjutan nampaknya masih menjadi pekerjaan rumah bagi para arsitek maupun pemangku kebijakan di Indonesia. Pemahaman yang minim mengenai bangunan berkelanjutan dan konsep ‘green building’ yang sesungguhnya membuat banyak bangunan yang dibangun di kota-kota besar di Indonesia, khususnya Jakarta, mengesampingkan dampak negatif potensial yang mungkin terjadi pada lingkungan.

“Saya perhatikan banyak bangunan di Jakarta yang menggunakan desain bangunan gaya internasional. Ini berarti banyak energi yang dibutuhkan untuk membuat suasana di dalam bangunan tersebut menjadi lebih dingin dan nyaman. Ini sangat disayangkan bila merujuk pada efek lingkungan yang diakibatkannya. Sangat mengecewakan bila ingin mewujudkan konsep ‘green building’,” ujar Sofie Pelsmakers, arsitek profesional bidang Sustainable and Environmental Design.

Sofie yang menjadi pembicara utama dalam Seminar Arsitektur Berkelanjutan atas undangan Green Building Council Indonesia di gedung Jakarta Design Center, Jakarta, pada Jumat (28/03) lalu, membagikan wawasannya seputar arsitektur dan bangunan berkelanjutan yang diterapkan di Inggris dan beberapa negara lainnya.

Menurut pengajar program master di bidang Desain Berkelanjutan (Sustainable Design) di University of East London ini, bangunan dengan arsitektur tradisional Indonesia sebenarnya lebih ramah terhadap iklim dan lingkungan. Ia mencontohkan, penggunaan material bangunan dari bambu atau kayu pada bangunan tradisional dengan konsep rumah panggung membuat bangunan lebih siap menghadapi bencana alam, dan suasana di dalam bangunan pun menjadi lebih sejuk tanpa perlu menggunakan pendingin ruangan.

“Kalian (arsitek dan pemerintah, Red.) harus banyak melihat berbagai contoh bangunan di berbagai tempat untuk memahami bagaimana struktur bangunan di tempat itu sehingga bisa membangun bangunan yang tepat. Saya rasa Jakarta bisa mengatasi masalah perubahan iklim dan menciptakan bangunan yang dingin secara alami. Ini akan menjadi keuntungan besar untuk kota Jakarta,” jelasnya.

Ia juga menyayangkan bahwa masih banyak arsitek Indonesia yang belum memanfaatkan potensi energi terkait kondisi geografis Indonesia untuk membuat bangunan yang berkelanjutan. “Di sini paparan sinar matahari cukup banyak dan akan membuat bangunan over heat (kelebihan panas). Tapi kondisi ini juga berarti ada banyak energi listrik yang bisa dihasilkan. Potensi ini yang belum dimanfaatkan dengan maksimal,” katanya.

Penulis buku The Environmental Design Pocketbook (2012) ini menyarankan agar badan legislatif di Indonesia harus segera membuat ketetapan dan peraturan yang jelas untuk mewujudkan sustainable city yang ramah lingkungan. “Mungkin akan terasa berat awalnya, tapi nantinya akan lebih baik jika dijalankan. Yang paling penting adalah membuat semuanya menjadi aturan yang jelas dan badan legislatif harus ketat dalam menjalankan aturan tersebut dan memprioritaskannya.”

(G08)

Top