Circular Economy, Upaya Mendorong Masyarakat untuk Memilah Sampah

Reading time: 2 menit
circular economy
Ilustrasi. Foto: freepik.com

Jakarta (Greeners) – Menumbuhkan konsep ekonomi melingkar (circular economy) kini menjadi fokus Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam menangani masalah persampahan. Konsep ini diharapkan dapat mengurangi timbulan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sekaligus menciptakan kesempatan ekonomi baru.

“Kita memiliki potensi ekonomi yang besar dalam persoalan sampah ini. Potensi besar ini tidak akan menjadi sebuah energi yang produktif atau tidak akan menjadi circular economy tapi menjadi energi yang dibuang ke TPA atau energi diam tanpa ada satu sistem yang ada di masyarakat. Jadi kuncinya adanya perubahan perilaku di masyarakat,” ujar Direktur Pengelolaan Sampah Novrizal Tahar pada acara Konsultasi Publik Sinkronisasi Standar Operasional Pemanfaatan Material Menuju Circular Economy di Manggala Wanabhakti, Jakarta, Kamis (02/08/2018).

Dari pemilaham sampah yang dilakukan oleh masyarakat tersebut diharapkan ada sumber daya atau energi produktif yang bisa dipakai lagi. Termasuk material-material sampah yang bisa dipergunakan kembali untuk bahan baku barang.

“Contohnya, industri kertas kita masih impor kertas daur ulang 6-7 juta ton per tahun untuk memenuhi bahan baku karena kita hanya mampu memberikan sampah kertas kepada industri itu 5 ribu ton. Bayangkan ini energi besar tapi disepelekan dan dibuang ke tong sampah yang tidak bisa dipakai lagi,” katanya.

BACA JUGA: Siti Nurbaya Apresiasi Pemulung dan Bank Sampah 

Novrizal juga menyatakan bahwa memperbanyak sistem pengumpulan sampah dengan menggunakan bank sampah, dukungan sektor informal, dan peran pemerintah daerah dapat mendorong perubahan perilaku pada masyarakat terkait pengelolaan sampah.

Executive director Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) Liana Bratasida mengatakan bahwa pabrik kertas akan senang jika mendapatkan sampah kertas yang memiliki kualitas baik untuk bahan baku pembuatan kertas (daur ulang) dan tidak lagi mengimpor. Sampah kertas didefinisikan sebagai kertas karton yang didapatkan dari industri atau rumah tangga yang telah dikumpulkan dan disortir untuk proses daur ulang.

“Harus ada pemilahan antara kertas, karton, dan koran mulai dari rumah tangga, kantor, rumah sakit, lalu dikumpulkan di RT atau bisa bekerjasama dengan pemulung dan lapak. Saat ini dari 70 pabrik kertas yang beroperasi di Indonesia, 50 diantaranya memakai kertas daur ulang namun penyediaan untuk kertas daur ulangnya tinggi dan kita tidak bisa memberikan jumlah permintaan pabrik tersebut. Mau tidak mau harus impor,” ujar Liana.

BACA JUGA: Penerapan Circular Economy dalam Pengelolaan Sampah Belum Maksimal 

Berdasarkan data APKI, kebutuhan daur ulang sampah kertas tahun 2017 mencapai 5.321.554 ton, namun kertas bekas yang tersedia di dalam negeri hanya 3.129.355 ton sehingga harus mengimpor kertas bekas sebesar 2.192.199 ton (trade map 2017).

Menurut Liana, banyak pabrik kertas akan senang menerima sampah kertas yang memiliki kualitas baik dalam arti tidak boncos. Masalahnya, banyak oknum yang mencampur sampah kertasnya dengan air dengan tujuan mendapatkan pembayaran lebih karena bobot sampah lebih berat. Kertas-kertas boncos seperti ini yang tidak bisa diterima oleh pabrik kertas. Terkait kondisi ini, jumlah penyediaan kertas otomatis akan berkurang.

“Penyediaan kertas bekas dalam negeri dapat ditingkatkan mulai dari sumber jika ada regulasinya,” kata Liana menambahkan.

Adapun jenis-jenis kertas daur ulang di Indonesia antara lain Old Corrugated Container (OCC), Sorted Office Paper (SOP), Sorted White Ledger (SWL), Mixed Paper, Old Newspaper (ONP), Old Magazine Paper (OMP) tersebut bisa di dapatkan di bank sampah 0,08%, Klaster Industri Kertas (KITAS) 0,49%, dan Baling Station (supplier) Kertas Daur Ulang 99,43%.

Penulis: Dewi Purningsih

Top