Hari Ciliwung, Aktivis Usung Ciliwung sebagai Parameter Sungai Tanah Air

Reading time: 3 menit
Hari Ciliwung, Aktivis Usung Ciliwung sebagai Parameter Sungai Tanah Air
Memeringati Hari Ciliwung, aktivis mengusung Ciliwung sebagai parameter sungai Tanah Air. Foto: Shutterstock.

Jakarta (Greeners) – Setiap memasuki musim hujan, banjir selalu membayangi warga Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. Koordinator Ciliwung Institute, Sudirman Asun, menyatakan banjir di Jakarta merupakan hal normal, mengingat letak Jakarta berada di hilir dan berdiri di atas sedimentasi sungai. Bukan hanya perihal geografis, tata ruang dan tata kelola sungai yang tidak ideal juga menjadi penyebab banjir.

Asun menyebut DKI Jakarta sebagai Ibu Kota negara harus memberi contoh kepada daerah lain dalam penanganan sungai. Sungai Ciliwung yang mengalir sepanjang Jakarta harus mendapatkan pengelolaan dengan model terbaik. Menurutnya, penguasa wajib meningkatkan tata kelola sungai Ciliwung guna menjaga keamanan warga dan mencegah dampak buruk dari banjir.

“Jakarta adalah Ibu Kota, maka model rekayasa Ciliwung haruslah dengan pilihan terbaik demi mengamankan warga dan bentuk ketahanan Ibu Kota. Banyak model bisa diaplikasikan. Sungai Ciliwung akan menjadi parameter tolok ukur percontohan tata kelola sungai di Indonesia,” ujar Asun dalam Mimbar Virtual: Pahlawan Milenial di November Rain, Selasa (10/11/2020).

Betonisasi Bukan Solusi Pengelolaan Sungai Ciliwung

Asun menilai sejauh ini pengelolaan sungai Ciliwung menerapkan strategi yang keliru. Model betonisasi yang telah pemerintah daerah lakukan di aliran sungai Ciliwung bukan solusi banjir. Menurutnya, betonisasi sungai tidak efektif dan membutuhkan biaya yang besar. Selain itu, kesehatan warga sekitar sungai juga terancam dengan dengan adanya betonisasi sungai.

Proses betonisasi sungai, lanjut Asun, juga menggusur Ruang Terbuka Hijau (RTH). Padahal berdasarkan Undang-undang nomor 26 tahun 2017 tentang Penataan Ruang mengamanatkan kota harus memiliki 30 persen RTH. Betonisasi, lanjut Asun, justru tidak hanya sekadar menggusur warga di bantaran sungai Ciliwung, tapi juga menghilangkan ekosistem dan keanekaragaman hayati.

“Beton mengisolasi sungai dari akses warga ke sungai. Beton juga menghalangi resapan air sungai dan sumur warga terancam kering. Akar pohon pinggir sungai tidak mendapat suplai serapan air dari sumber sungai,”jelasnya.

Asun menyebut betoniasasi dalam tata kelola sudah ketinggalan zaman. Negara lain bahkan sudah meninggalkan model tersebut sebab terbukti gagal sebagai solusi banjir. Justru pengelolaan sungai saat ini lebih mengedepankan konsep berbagi dengan air dan memperbesar ruang geliat sungai.

“Betonisasi adalah ilusi melindungi warga. Warga justru terlena, terlelap, dan mematikan sistem alarm kesiagaan bawah sadar warga terhadap sungai. Beton menutup akses pengetahuan warga terhadap sungai dan banjir,” hemat Asun.

Baca juga: Pakar Ajak Masyarakat Monitor Amdal di bawah Payung UU Cipta Kerja

Aktivis: Jangan Jadikan Ciliwung Panggung Politik

Lebih jauh Asun menyebut naturalisasi sungai Ciliwung merupakan model terbaik. Asun mengapresiasi Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan yang memilih naturalisasi. Dia menilai langkah ini merupakan jalan tengah antara ekosistem sungai dan penduduk di sekitarnya. Namun, lanjut dia, sejauh ini belum ada langkah serius yang dilakukan pemerintah.

Asun juga mengkritisi para politikus yang memanfaatkan Ciliwung hanya sebagai sekadar sarana marketing pemilu. Menurutnya, banyak calon pemimpin daerah bahkan presiden yang kerap memberi janji membebaskan Jakarta dari banjir. Justru janji tersebut merupakan bentuk disinformasi.

“Perspektif atau janji jakarta bebas banjir jadi disinformasi atau kesesatan. Jadi sering terjadi ketika ada hajat elektoral baik pilkada atau pilpres bahwa calon-calon yang akan terpilih berjanji muluk-muluk akan membuat Jakarta bebas banjir. Justru yang terjadi malah gagap membeirkan solusi,” tegasnya.

Secara terpisah, Pendiri Komunitas Ciliwung Depok (KCD), Taufik D.S. mengungkapkan saat ini komunitas di sekitar sungai Ciliwung mulai bermaunculan. Hal tersebut merupakan sesuatu yang positif terlebih untuk pengelolaan sungai Ciliwung oleh warga sekitar.

Di sisi lain, dia menkenkankan pentingnya menjaga kemurnian setiap komunitas sungai Ciliwung. Pasalnya, sama seperti yang Asun sampaikan, banyak komunitas yang berdiri demi modus pencitraan. Taufik mencontohkan tak sedikit pihak yang menjadikan Ciliwung sebagai panggung bagi para pejabat atau orang yang ingin menjadi pejabat.

“Beberapa kali saya amati, ada pejabat melakukan pengarungan sungai dengan publikasi dan pemberitaan yang besar. Tapi, Ciliwung tidak jadi bagus, hanya jadi panggung,” katanya.

Penulis: Muhammad Ma’rup

Editor: Ixora Devi

Top