Ibu Kota Baru Nusantara Butuh Restorasi Ekologi

Reading time: 3 menit
Ibu kota baru Nusantara membutuhkan restorasi ekologi agar memiliki kembali vegetasi alaminya. Foto: Shutterstock

Jakarta (Greeners) – Keputusan hadirnya Ibu Kota baru Nusantara di Penajam Paser, Kalimantan Timur harus menjadi momentum restorasi ekologi di kawasan tersebut. Dulu daerah itu adalah kawasan hujan tropis basah yang berangsur berubah menjadi lahan kritis dan penuh ilalang.

Pengamat Lingkungan Tarsoen Waryono mengatakan, hijrahnya pusat pemerintahan Ibu Kota Negara dari Jakarta ke Penajam Paser, Kalimantan Timur bukan semata-mata antisipasi terhadap ancaman jangka panjang. Ancaman yang ia maksud seperti banjir, kekeringan, gempa dan longsor yang ada di Pulau Jawa. Namun, lebih kepada upaya pengembangan wilayah guna mendayagunakan potensi daerah pedalaman, khususnya dalam restorasi ekologinya.

“Pengalaman pribadi sejak tahun 1970, bentang alam sepanjang jalan dari Paser Penajam hingga ke Barabe-Kandangan dan Banjarmasin, dengan lebar rata-rata 10 km di sebelah kanan/kiri jalan dan lebih dari 400 km panjangnya, merupakan hamparan lahan kritis ilalang (alang-alang). Padahal sebelumnya merupakan hutan hujan tropis basah,” katanya kepada Greeners, di Jakarta, Kamis (20/1).

Pemberian nama “Nusantara” untuk ibu kota baru ini selain mengingatkan betapa tingginya nilai histori di balik namanya juga mengingatkan betapa pentingnya menjaga aspek krusial. Selain itu juga mengingatkan pentingnya menjaga kekayaan lingkungan hidup melalui restorasi ekologi sebagai dasar dalam pembangunan ibu kota negara.

Pastikan Vegetasi Alam di Ibu Kota Baru

Tarsoen mengungkapkan, restorasi ekologi tersebut mencakup bentang alam, tata air, habitat satwa liar, restorasi penyebab kebakaran serta restorasi kelembagaan dan kebijakan. Penting, sambungnya untuk memastikan ekosistem hutan hujan tropis basah sebagai vegetasi alam asli di ibu kota baru.

Namun, penataan lingkungan (pola hijau) bangunan modern tahun 2000-an dengan cenderung membudidayakan tumbuhan atas dasar nilai arsitektur (padu serasi) justru menghilangkan kondisi vegetasi alam aslinya.

“Padahal jenis yang dibudidayakan itu berumur pendek. Berbeda halnya dengan jenis tumbuhan hutan hujan tropis yang umumnya memiliki umur lebih dari 200 tahun,” paparnya.

Hijrahnya fauna umumnya imbas dari ekosistemnya terganggu. Dengan memulihkan tutupan vegetasi semirip mungkin dengan aslinya (hutan hujan tropis) sebagai habitat hidupan liar, maka fauna akan hijrah kembali ke habitatnya. Misalnya dengan bahan tanaman dari biji dan kongkoa alam (persemaian).

Selain itu, beragam antisipasi terhadap beragam kebencanaan juga harus pemerintah upayakan di ibu kota baru. Misalnya, antisipasi luapan banjir. Melalui pembangunan saluran drainase yang desainnya harus lebih jauh ke depan (200 tahun). Caranya harus memerhatikan gradien saluran air dari hulu hingga hilir.

Masalah kekeringan dengan pemanfaatan air sungai juga harus mendapat perhatian. “Dua ancaman tersebut dapat diupayakan dengan menetapkan koefisien dasar bangunan (KDB) 30 % yang artinya 30 % boleh dipondasi dan 70 % untuk ruang terbuka hijau (mengacu pada penyempurnaan Undang-Undang No 26 Tahun 2007),” ungkapnya.

Dalam restorasi ekologi, pemulihan daerah aliran sungai penting terimplementasi di ibu kota baru. Foto: Shutterstock

Pemulihan Daerah Aliran Sungai dan Antisipasi Perubahan Iklim

Ia juga menyebut perlunya antisipasi terhadap kerusakan daerah aliran sungai (DAS) melalui penetapan bantaran sungai. Hal dapat pemerintah lakukan dengan memastikan satu setengah kali lebar badan sungai di sebelah kanan dan kiri sungai. Termasuk juga hamparan kebun sawit yang minimal setiap 1000 hektare idealnya membuat koridor hijau dan jajaran pohon hutan selebar 100 meter.

“Selain berfungsi sebagai buffer perkebunan , juga merupakan habitat dan sumber pakan kehidupan liar,” imbuhnya.

Tarsoen juga mengingatkan agar pemerintah mengantisipasi terhadap perubahan iklim dan pencemaran udara dengan memastikan tidak adanya perladangan berpindah (kendali pencemaran udara), rehabilitasi kritis dan pemulihan lahan pasca tambang (batu bara).

Temuan Masalah di IKN Nusantara

Rapid kajian hasil lingkungan strategis (KLHS) menemukan empat masalah utama di ibu kota baru. Pertama, keterbatasan suplai air baku. Kedua, wilayah ibu kota baru merupakan habitat dan ruang jelajah beberapa spesies kunci. Ketiga, terdapat setidaknya 109 lubang tambang yang membutuhkan penanganan lebih lanjut. Terakhir, Kalimantan Timur memiliki ecological footprint tinggi di Kalimantan.

Rapid KLHS menghasilkan beberapa rekomendasi, yakni 10 prinsip smart and forest city dan 5 peta jalan pemulihan dan perbaikan lingkungan. Satu dari 10 prinsip ini yakni memastikan bahwa ibu kota baru memiliki jaringan ruang hijau yang lebih terstruktur.

Koalisi Masyarakat Kalimantan Timur (Kaltim) menolak pengesahan RUU IKN karena menduga cacat prosedural dan bentuk ancaman keselamatan ruang hidup rakyat maupun satwa langka di Kaltim.

Melalui siaran persnya, koalisi yang terdiri dari sejumlah aktivis Walhi Kaltim, Pokja 30 Kaltim, LBH Samarinda, FNKSDA Kaltim, serta JATAM Kaltim ini menyebut RUU IKN minim partisipasi publik.

Koalisi ini menilai rencana pemindahan ibu kota tak negara tak meliputi dasar kajian kelayakan yang meliputi aspek kemaslahatan dan keselamatan. “Kami mendesak pemerintah menyelesaikan permasalahan krisis yang terjadi di Kalimantan Timur, bukan pemindahan ibu kota baru,” ucap koalisi tersebut.

Penulis : Ramadani Wahyu

Top