Ironi Penjualan Pakaian Bekas, Dilarang Tapi Laku dan Melaju

Reading time: 3 menit
Pembeli pakaian bekas antusias memilih berbagai pakaian dengan berbagai model dan merek dengan harga murah. Foto: Shutterstock

Jakarta (Greeners) – Praktik jual beli pakaian bekas impor menjamur di Indonesia. Bahkan telah berlangsung lebih dari belasan tahun lalu. Tetapi praktik ini bak dua mata pisau. 

Di satu sisi, bagian dari upaya memperpanjang usia pakaian. Namun, di sisi lain berpotensi menyebarkan virus, bakteri yang berdampak pada kesehatan hingga menghancurkan pasar lokal. 

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) telah melarang agar impor pakaian bekas berdalih sustainability segera dihentikan. Pelarangan tersebut buntut dari impor sepatu dari Singapura. Sepatu dari masyarakat seharusnya disumbangkan ke Pemerintah Singapura untuk didaur ulang. Namun, justru sepatu ini lolos ke pasar Indonesia.

Kebijakan pelarangan produk impor ini bukan hal baru. Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 40 Tahun 2022 Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2021 Tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor sudah ada.

Pengkampanye Urban Berkeadilan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Abdul Ghofar mengatakan, selama ini industri pakaian bekas menjamur dan seolah tak ada penegakkan hukumnya yang jelas.

Di satu sisi bisnis ini bagian dari zero waste, memperpanjang usia pakai barang. Namun di sisi lain membutuhkan penegakan hukum karena adanya potensi selundupan residu di dalamnya.

“Sama halnya dengan sampah impor, adanya residu yang masuk di situ yang akhirnya kualitas barangnya tidak lebih bagus,” katanya kepada Greeners, Selasa (14/3).

Menurutnya, selama ini pakaian-pakaian bekas ini masuk melalui jalur ilegal di berbagai pelabuhan, seperti di pelabuhan di Riau, Sumatera Utara hingga Pontianak sebelum akhirnya masuk ke Jawa.

Terlepas dari prosesnya yang ilegal, Ghofar menyebut pentingnya pengkajian konteks pelarangan komposisi pakaian yang masuk.

“Sebelum penegakan hukum paling tidak, perlu kita riset sebetulnya dari sekian puluh ribu ton pakaian bekas yang masuk ilegal, komposisinya berapa persen yang residu dan bukan,” ungkapnya.

Impor Pakaian Bekas

Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut, volume dan nilai impor pakaian bekas di Indonesia meningkat, bahkan puncaknya pada tahun 2019. Saat itu total volume impor 329 ton senilai US$ 6,08 juta.

Sementara pada tahun 2021, BPS mencatat impor pakaian bekas Indonesia hanya 8 ton dengan nilai US$ 44.000.

Namun Trade Map menyebut, ekspor baju bekas dari negara eksportir sepanjang tahun 2021 yang masuk ke Indonesia mencapai 27.420 ton. Adapun nilai totalnya US$ 31,95 juta. Perbedaan angka ini memicu kecurigaan banyaknya pakaian bekas ke Indonesia melalui jalur ilegal.

Membeli pakaian bekas.

Pakaian bekas digemari karena murah dan bermerek. Foto: Shutterstock

Pakaian Bekas Cegah Fast Fashion?

Klaim beli hemat (thrifting) mencegah fast fashion lumrah adanya. Sebab fast fashion memproduksi pakaian dalam jumlah besar dan berkualitas rendah memicu dampak serius pada lingkungan. 

Jurnal Nature Climate Change menyebut, total emisi gas rumah kaca dari produksi tekstil mencapai 1,2 miliar ton per tahun. Jumlah ini lebih banyak daripada gabungan semua penerbangan internasional dan pelayaran di laut.

Secara global, industri fast fashion menghasilkan 92 juta ton limbah per tahun dan menggunakan 79 triliun liter air. Kurang dari 15 % pakaian yang didaur ulang atau digunakan kembali.

World Bank menyebut, tahun 2020 setiap harinya kurang lebih 20.000 ton sampah dan 340.000 ton air limbah mencemari Sungai Citarum. Ironisnya, penyumbang limbah tersebut dari 2.000 industri tekstil.

Maraknya fast fashion memproduksi pakaian dalam jumlah besar dan berkualitas rendah memicu dampak serius pada lingkungan. Namun, benarkah pemakaian pakaian bekas ini menyelamatkan lingkungan?

Ancaman Kesehatan dari Pakaian Bebas

Berdasarkan laporan Valuing Our Clothes: The Cost of UK Fashion WRAP terbitkan pada tahun 2017 mengungkap, peningkatan penjualan barang bekas sebesar 10 % dapat menghemat 3 % emisi karbon dan 4 % air.

Sementara berdasarkan studi INTEXTER UPC, pemakaian pakaian bekas sebanyak 1 kilogram dapat menghemat 25 kilogram CO2.

Namun, Ahli Kesehatan Masyarakat dari Universitas Indonesia Budi Haryanto menegaskan, pentingnya pemeriksaan kandungan kimia atau bakteri virus pada pakaian bekas.

“Kalau baju bekas dalam keadaan lembab maka ada bakteri, virus, jamur bahkan serangga dan berisiko menggangu kesehatan manusia,” kata dia.

Salah satu penggemar thrifting, Rafika mengaku mengincar baju dengan model yang unik dan murah lewat thrifting.  

“Dengan harga yang lebih murah, saya bisa mendapat model yang unik,” katanya kepada Greeners, Rabu (15/3).

Setelah membeli blouse atau blazer ia mencucinya dengan air hangat untuk mengindari bakteri yang menempel. Bahkan, jika ia membelinya dari thrift shop yang sudah melaundry pakaiannya tetap ia cuci kembali. 

Rafika paham jika thrifting mengancam produk lokal dari usaha mikro kecil menengah (UMKM). Ia berharap, UMKM bisa berinovasi untuk menciptakan produk yang modelnya menjawab keinginan pasar dan harganya pun ramah di kantong.

Penulis: Ramadani Wahyu

Editor : Ari Rikin

Top