Iwan Abdulrachman; Sepeda Sebagai Inspirasi

Reading time: 8 menit

Di usianya yang tak lagi terbilang muda, Iwan Abdulrachman, atau lebih dikenal sebagai Abah Iwan boleh dikatakan telah mencapai segalanya, keluarga yang penuh cinta, karya-karya seninya yang telah begitu meresap ke seantero negeri, dan pengakuan dari masyarakat luas atas pemikiran dan karyanya yang telah memperkaya kehidupan masyarakat Indonesia. Namun bagi legenda hidup yang satu ini, hidup tak berhenti di situ, ia terus berkarya dan menginspirasi banyak orang. Ibarat pepatah, seperti padi, semakin merunduk semakin jadi, Abah tak pernah tenggelam dalam prestasi dan nama besarnya sendiri.

Oleh Rizky Aghistna | Artikel ini diterbitkan pada edisi 08 Vol. 3 Tahun 2008

 

Ditemui greeners di rumahnya yang mirip hutan di bilangan Cigadung, Bandung, Ikon Bandung yang satu ini terlihat begitu sederhana, terbuka, rendah hati, dan bersahabat. Siang itu kami berbincang mengenai dua hal yang sama-sama kami cintai: sepeda, dan kota Bandung.

Suasana di kediaman Abah siang itu begitu menyejukkan, rasa lelah yang kami dapat setelah mencicipi kenikmatan bandrek di war-ban (Warung Bandrek, sekitar 3km ke utara dari Taman Hutan Raya Juanda) dengan mengendarai sepeda, seketika sirna. Tak lama setelah menyambut kami dengan hangat, kami lalu disuguhi teh manis dan kopi tubruk yang membuat percakapan terus mengalir tanpa jeda. Abah Iwan, kerendahan hatinya membuat kami lupa bahwa kami sedang berbincang dengan seorang tokoh, seorang seniman, budayawan, juga seorang pendekar yang namanya telah harum ke seantero negeri.

Membuka percakapan, Abah bercerita mengenai kebiasaan bersepedanya yang telah dilakukan semenjak masa SMP nya dulu, namun setelah lulus kuliah, kebiasaan ini sempat hilang. Banyak yang bisa dijadikan alasan, namun secara jujur Abah mengakui, ”Kadang orang lupa bahwa bersepeda itu penting”

Tak ada asap bila tak ada api, semenjak tahun 2000, diawali dengan pertemuan dengan beberapa teman lama, prihatin dengan kondisi lalu lintas kota yang semakin semerawut, serta buruknya kualitas udara akibat polusi dari kendaraan bermotor, akhirnya membuat Abah kembali terpanggil untuk kembali menggunakan sepeda sebagai alat transportasi sehari-hari. Hasilnya, bukan hanya jalanan di kota, diawali dengan rute Bandung – Cianjur, Bandung – pangandaran, lalu Ujung Kulon, bahkan Bali pun berhasil ia lalap dengan sepeda.

Meski demikian, jarak tempuh itu tidak lantas menjadi tolok ukur kekuatan seseorang. Lebih lanjut Abah mengatakan bahwa yang terpenting dari bersepeda itu adalah menikmatinya. Tak peduli sepeda telah menjadi transportasi sehari-hari, kita tetap harus menganggapnya sebagai rekreasi. Dengan begitu selain lebih sehat, kita juga akan lebih menikmati hidup.

Berikut sisa perbincangan kami dengan Abah, di sela-sela hembusan angin sejuk, dan seruputan kopi hangat,

G: Apa yang Abah rasakan setelah mulai bersepeda lagi?

A: Yang jelas, secara fisik, bersepeda itu jelas menyehatkan. Tapi belum tentu ada korelasi antara sepeda dengan olah raga yang lain. Misalnya, Abah sering renang dan main silat, tapi pas nyoba sepeda, tetap saja kewalahan. Juga sebaliknya, tukang renang kalau disuruh maen sepeda, pasti ripuh oge.

G: Secara psikologis?

A: Ada kebebasan, apalagi kalau sedang bersepeda seorang diri ke tempat-tempat yang terpencil. Lalu realistis. Kita harus mengenal diri kita sendiri, kalau kita ngga kuat ngeboseh, ya turun, terus dorong. Ngga seperti naik motor. Sempat Abah juga naik Harley tahun 60 -70an, dan ternyata citra kebebasan pas naek Harley mah untuk orang Amerika sana saja, karena mereka punya banyak highway. Tapi kalau disini, wah ripuh, selain jalannya rata-rata kecil, juga banyak kendaraan jenis lainnya. Jadi nu bebas mah, numpak sapeda weh. 

“Sepeda dapat menjadi sumber inspirasi dari pemecahan masalah kota”

Top