Jerat Pencemar Lingkungan Hidup Agar Jera dengan Berbagai UU

Reading time: 2 menit
Sanksi terhadap pencemaran harus berat, karena dampaknya merugikan masyarakat dan lingkungan. Foto: Shutterstock

Jakarta (Greeners) – Tindak pidana bagi perusahaan yang berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan masih belum optimal. Aparat penegak hukum masih belum terbiasa mengimplementasikan pidana dari berbagai undang-undang (UU) lingkungan hidup yang ada. Padahal pencemar lingkungan harus mendapat sanksi pidana yang tegas untuk menimbulkan efek jera.

Pakar Hukum dan Etika Politik Universitas Katolik Soegijapranata Benny D. Setianto mengatakan, beberapa ketentuan hukum terkait lingkungan hidup beragam. Di antaranya UU No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Lalu ada pula UU No 17 Tahun 2019 Tentang Sumber Daya Air, serta United Nations Declaration on the Rights of Indigenous People. Ia menegaskan, aturan tersebut telah mewadahi ketentuan pidana bagi pelanggar hukum, tapi sifatnya masih normatif.

“Artinya belum menjadi kultur karena aparat penegak hukum kita belum terbiasa dengan undang-undang di luar KUHP. Padahal banyak sekali undang-undang yang ada di Indonesia,” katanya dalam Diskusi Publik Penerapan Pengaturan Tindak Pidana di dalam UU Air terkait Kerusakan Sumber Air, Pencemaran dan Terjadinya Daya Rusak Air di Komunitas Warga, di Jakarta, Senin (21/3).

Sandungan Penegakan Hukum Pencemaran Lingkungan

Lebih jauh, ia mengungkap penegakkan hukum di Indonesia kerap dapat pengaruh kultur dan politik hukum. Selain itu juga motif ekonomi, sehingga perusahaan ekstraktif muncul. Padahal perusahaan ini belum berpihak pada lingkungan dan masyarakat.

Pernyataan Benny ini merespon keluhan Nico, warga Desa Gupit, Sukoharjo yang terdampak dari pencemaran limbah oleh PT Rayon Utama Makmur (RUM) Sukoharjo. Patahnya pipa pembuangan limbah di aliran sungai sejak tahun 2011 itu telah mencemari air dan tanah sekitarnya. Pembuangan limbah tersebut tercium menyengat hidung.

Tak hanya itu, Nico juga menyebut para petani merugi karena air sungai yang mereka gunakan mengairi sawah tercemar. Aparat penegak hukum, sambung dia kesulitan menemukan barang bukti berupa ketidaksesuaian baku mutu, sebagai salah satu indikator.

Permasalahannya selanjutnya, pengukuran baku mutu yang Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Jawa Tengah dan pemerintah daerah setempat lakukan diduga kuat tak sesuai standar.

“Misalnya, pengukuran uji limbah soal air yang sejatinya dilakukan 24 jam tapi hanya satu jam. Selain itu saat pengukuran juga diikuti oleh pihak perusahaan sehingga diduga kuat ada kebocoran informasi,” paparnya.

Ahli Harus Terlibat Saat Indentifikasi Pencemaran

Peneliti Senior Ecoton, Riska Darmawanti menyatakan, pemantauan dan identifikasi untuk melihat baku mutu memang harus melibatkan ahli yang tersertifikasi. Pemeriksaan juga harus dilakukan di laboratorium.

Akan tetapi, masyarakat bisa melakukan pemantauan dengan menggandeng pihak ketiga untuk memastikan kualitas air yang ada dugaan tercemar tersebut. “Bisa dipantau pH dan Total Dissolved solid (TDS) atau total zat terlarut,” ucap Riska.

Sementara Ahli Hukum Pidana Nella Sumika Putri menilai, penegakkan hukum yang pemerintah lakukan kerap berhenti pada sanksi administratif. Itu artinya belum ada langkah lanjutan seperti kepastian pemberian tanggung jawab beban pemulihan terhadap perusahaan terkait.

Ia menilai masyarakat berhak mendapatkan kompensasi dari kerusakan lingkungan yang perusahaan lakukan. Mengacu ancaman pidana dan denda dalam pasal 98 ayat 3 dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pelaku bisa mendapat pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun.

Adapun denda paling sedikit Rp 5 miliar dan paling banyak Rp 15 miliar. “Ancaman itu masih lebih murah dibanding dampak yang lingkungan dan masyarakat sekitar alami,” pungkas dia.

Penulis : Ramadani Wahyu

Editor : Ari Rikin

Top