Hari Bumi, Krisis Iklim di Depan Mata

Reading time: 3 menit
Peringatan Hari Bumi 22 April menjadi pengingat untuk terus menjaga bumi tetap sehat dan lestari. Foto: Shutterstock

Jakarta (Greeners) – Krisis iklim telah nyata di depan mata. Semua perilaku manusia, baik atau buruk akan kembali kepada manusia sebagai dampaknya. Dunia memperingati Hari Bumi setiap tanggal 22 April. Tahun ini Hari Bumi bertema “Invest in Our Planet”. Peringatan ini momentum untuk merefleksikan kembali kebaikan alam bagi umat manusia yang kini diambang krisis.

Laporan terbaru dari Panel Antarpemerintah terkait dengan Perubahan Iklim (IPCC) menyebut masyarakat global hanya memiliki waktu sekitar 32 tahun atau kurang dari tiga tahun untuk membatasi pemanasan global. Perkiraanya sebelum tahun 2025, emisi gas rumah kaca akan mencapai puncaknya.

Manajer Kampanye Keadilan Iklim Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Yuyun Harmono menyatakan, indikasi krisis iklim telah ada di depan mata. Mulai dari kejadian bencana karena kondisi iklim hingga kenaikan air muka laut.

“Jika suhu bumi mencapai 1,5 derajat Celcius maka akan sulit untuk mengatasi dampaknya. Akan ada kehancuran ekosistem penyangga kehidupan manusia,” katanya kepada Greeners, Jumat (22/4).

Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sepanjang 2021 terdapat sebanyak 5.402 kejadian bencana yang telah terjadi di Indonesia. Bencana hidrometeorologi seperti banjir dan cuaca ekstrem mendominasi kejadian bencana. Data tersebut mengalami peningkatan lima kali lipat dibanding 10 tahun terakhir, yakni 1.598 kejadian bencana.

Selain bencana akibat perubahan iklim, dampak lainnya yaitu kenaikan muka air laut (tidak sampai satu sentimeter) tiap tahun. Namun, bila kita akumulasikan tiap tahun maka akan berdampak besar.

“Dampak kenaikan muka air laut di Indonesia akan mempengaruhi 23 juta masyarakat yang tinggal di pesisir dan teluk kecil. Misalnya banjir rob yang mengalami peningkatan intensitas,”imbuhnya.

Aksi untuk melawan perubahan iklim dapat kita lakukan melalui pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK). Indonesia sebelumnya dalam Perjanjian Paris telah menyepakati Nationally Determined Contributions (NDC) yang menargetkan penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29 % dengan usaha sendiri 41 % dengan dukungan internasional di tahun 2030.

Energi Fosil Sumbang Emisi

Manajer Kampanye Tambang dan Energi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Rere Christanto mengatakan, sektor energi merupakan salah satu sektor yang berkontribusi terhadap emisi.

Ia menyebut, tingkat ketergantungan Indonesia dalam energi fosil, khususnya di sektor listrik masih sangat tinggi. Ini menyusul klaim bahwa transformasi menuju energi baru terbarukan yang lebih mahal.

Selain berimbas pada pemulihan lingkungan dan dampak memburuknya kesehatan ke masyarakat, energi fosil akan berkontribusi terhadap pemanasan global. Ini menunjukkan bahwa upaya transisi energi tidak terwujud. “Penggunaan energi batu bara yang dinaikkan itu tidak terlihat seperti rencana transisi energi,” ujar dia.

Pengamat Lingkungan Hidup dari Universitas Indonesia Mahawan Karuniasa menyatakan, transformasi energi baru terbarukan tak bisa secara ujug-ujug terlaksana dengan menghentikan sumber energi fosil batu bara. Sebagai negara berkembang, Indonesia justru membutuhkan pembangunan ekosistem bagi industri dan transformasi.

“Transformasi ekosistem menuju energi baru terbarukan akan bisa tercapai pada sektor ini tentu dengan transformasi sumber daya manusia kita,” kata Mahawan.

Energi bersih dan terbarukan menjadi pilihan mutlak untuk menekan dampak krisis iklim. Foto: Shutterstock

Dorong Target Serius Penurunan Emisi

Selain itu, ia juga menyorot pemanfaatan optimal pada sektor kehutanan Indonesia pada rencana FoLU Net Sink Tahun 2030. Program ini harapannya mampu berkontribusi pada penurunan emisi gas rumah kaca.

Ia juga menekankan pentingnya Indonesia dalam menaikkan target NDC yang lebih ambisius seiring dengan penyesuaian target net zero emission tahun 2060 guna memastikan kenaikan suhu bumi tak sampai 1,5 derajat Celcius.

Hal yang tak kalah penting, semua pihak harus mengubah perilaku untuk menghambat dampak krisis iklim. Misalnya, pola hidup masyarakat yang ramah lingkungan, akademisi memberi masukan ilmiah berbasis sains untuk media beritakan. Hal ini perlu untuk menangkal hoaks seputar perubahan iklim.

Momentum Hari Bumi, Ingatkan Kelola Sampah untuk Tekan Dampak Krisis Iklim

Selain sektor energi, sampah juga menjadi salah satu penyumbang emisi gas rumah kaca. Pada tahun 2021 sampah Indonesia mencapai 68,5 juta ton.

Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Beracun Berbahaya (Dirjen PSLB3) KLHK, Rosa Vivien Ratnawati mengatakan, aksi melawan krisis iklim perlu dengan memastikan pengelolaan sampah secara tepat.

Khusus untuk sampah plastik, peningkatan sampah jenis ini terjadi karena gaya hidup serba praktis. Hal ini membuat pemakaian plastik sekali pakai pun meningkat.

Terkait itu, Vivien menilai diperlukan kebijakan dan upaya luar biasa untuk mengatasi permasalahan tersebut. Bukan hanya menekan pemakaian plastik oleh individu, melainkan juga pelaku usaha.

“Di hulu ada dua pihak yang besar yang harus kita tangani. Yang pertama kita, individual yaitu kita memilah sampah. Tapi ada juga yang lain yaitu produsen yang memproduksi barang yang ada kemasannya yang setelah dipakai dibuang begitu saja,” kata Vivien.

Penulis : Ramadani Wahyu

Editor : Ari Rikin

Top