Paus Menyerap Lebih Banyak Karbon Dibanding Pohon

Reading time: 3 menit
Ikan Paus
Ikan paus rata-rata memiliki berat 200 ton dengan umur rata-rata 70 tahun. Foto: shutterstock

Jakarta (Greeners) – Seekor paus diketahui memiliki kemampuan menyerap karbon dioksida lebih banyak dibanding sebatang pohon. Laporan penelitian ilmiah International Monetary Fund (IMF) menyebut bahwa setiap paus besar rata-rata menyerap 33 ribu kilogram CO2. Sedangkan sebuah pohon dapat menyerap hingga 22 kilogram karbon dioksida setahun. Konservasi paus juga memiliki potensi penangkapan karbon yang besar.

Salah satu hewan laut terbesar ini juga memainkan peran penting karena membantu menyuburkan tanaman mikroskopis yang dapat menyerap 40 persen CO2. Paus juga menangkap karbon dalam jumlah besar di tubuh mereka sebelum tenggelam ke dasar laut saat mereka mati. Karbon tersebut dapat bertahan selama berabad-abad.

Baca juga: Akademisi: RUU Cipta Kerja Mengerdilkan Makna Pembangunan

Tahun lalu, IMF menaksir peran paus dan fungsinya dalam penyerapan karbon serta kondisi laut yang sehat senilai lebih dari USD 1 triliun. Satu ekor paus besar diperkirakan berharga lebih dari USD 2 juta karena berkontribusi terhadap penangkapan karbon, peningkatan perikanan, dan pariwisata.

Peneliti mamalia laut di Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Sekar Mira mengatakan bahwa pada dasarnya setiap makhluk hidup umumnya mengandung karbon, hidrogen, oksigen, dan nitrogen.“Semakin banyak biomassa suatu spesies, stok karbon yang disimpannya juga makin banyak,” ujar Mira, ketika dihubungi Greeners, Senin (07/09/2020).

Paus

Siklus penyerapan oksigen dan karbon pada paus. Sumber: www.imf.org

Seekor paus mengumpulkan karbon melalui makanan dan menyimpannya di dalam tubuh selama masa hidup yang panjang. Paus rata-rata memiliki berat 200 ton dengan umur rata-rata 70 tahun. Satu spesies seperti paus kepala busur, misalnya, diperkirakan memiliki umur 268 tahun. Ketika seekor paus mati, ia tenggelam ke dasar lautan dan karbon di dalam tubuhnya tinggal.

Menurut Mira, bangkai paus yang tenggelam membutuhkan waktu puluhan tahun untuk membusuk dan menyatu dengan ekosistem. Selain itu keberadaannya juga menjadi sumber makanan yang sangat besar bagi spesies laut dalam dari pemakan bangkai besar hingga bakteri mikroskopis. “Makin tua paus, berarti ia menjadi stok yang baik untuk menyimpan karbon. Jadi, usia itu memengaruhi penyimpanan karbon,” ujarnya.

Baca juga: Implementasi Standar Emisi Euro IV Masih Tertunda

Jika dibandingkan dengan pohon, kata dia, paus menangkap emisi karbon lebih banyak karena tanaman memiliki bagian yang gugur dan terdekomposisi. Selain itu, tumbuhan juga biasanya mengeluarkan karbon dioksida dari hasil respirasinya (proses oksidasi).

Feses paus juga dinilai dapat menyuburkan fitoplankton untuk membantu menyerap emisi. Ketika kotorannya jatuh ke laut dalam, hal tersebut akan membantu proses penangkapan atau pemindahan karbon dari atmosfer ke suatu tempat. Sistem ini disebut juga dengan sekuestrasi karbon.

Sumber: www.imf.org

Kandungan yang terdapat di dalam feses paus terdiri dari sejumlah besar nutrisi seperti fosfor, besi, dan nitrogen yang penting untuk pertumbuhan fitoplankton. IMF menghitung bahwa fitoplankton bertanggung jawab untuk menangkap sekitar 37 miliar ton CO2 yang setara dengan 1,7 triliun pohon atau empat kali hutan hujan Amazon.

“Hanya tumbuhan termasuk fitoplankton di laut yang langsung dapat menyerap emisi karbon dioksida. Jadi, tidak semua dapat menyerap emisi, tapi semua terlibat dalam siklus karbon,”ujar Mira.

Populasi Paus Terus Berkurang

Populasi paus di laut dunia telah berkurang dalam dua abad terakhir. Jumlahnya turun dari 5 juta menjadi 1,5 juta saat ini. Lebih dari 30 tahun praktik penangkapan ikan paus terjadi untuk keperluan komersial. Kini sebagian besar telah dilarang untuk melindungi mamalia laut itu. Spesies paus mengalami berbagai dampak akibat perilaku manusia, misalnya, polusi plastik dan suara, tabrakan kapal, alat tangkap, dan pemanasan global.

Akhir-akhir ini banyak paus yang mati terdampar di lautan Indonesia dan penyebabnya belum diketahui. Dokter Hewan World Wildlife Fund (WWF) Indonesia, Dwi Suprapti memaparkan bahwa setiap kejadian mamalia laut terdampar membawa pesan yang cukup banyak. Menurutnya peristiwa tersebut mengindikasikan pencemaran laut, aktivitas yang tinggi di laut, atau kondisi alam, seperti cuaca buruk dan gempa.

“Peran dokter hewan adalah melakukan nekropsi (pembedahan) pada mamalia laut yang terdampar. Namun kegiatan itu tetap tidak bisa dilakukan sendiri, dibutuhkan peran dari berbagai pihak dengan porsinya masing-masing untuk mengungkap kejadian terdampar,” ujar Dwi pada Webinar Kejadian Mamalia Laut Terdampar Perspektif Dokter Hewan dan Peneliti Oseanografi, Kamis lalu.

Baca juga: Pemakaian Ekstrak Ganja Dinilai Redakan Stres pada Gajah

Dwi menyebut terdapat sebelas penyebab kejadian mamalia laut terdampar, yaitu terjebak di air surut, penyakit, predasi atau serangan, kebisingan, aktivitas perikanan, tertabrak kapal, pencemaran laut, gempa dasar laut, cuaca ekstrem, ledakan alga (blooming), dan badai matahari.

“Dari 304 kasus kejadian mamalia laut terdampar yang terjadi selama periode 2015-2019, lebih dari 80 persen tidak terjawab penyebabnya karena keterbatasan SDM, biaya, dan informasi yang diperoleh. Dari 20 persen yang terjawab, hasil tertinggi karena by catch (penangkapan), cuaca, tertabrak kapal, dan predator,” ucapnya.

Dari perspektif oseanografi, Dosen Ilmu Teknologi Kelautan IPB University Agus Saleh Atmadipoera menyampaikan, Wilayah Indonesia Timur dengan topografi yang kompleks berperan terhadap kejadian mamalia laut terdampar. Menurutnya, propagasi gelombang pasang surut internal berpotensi menghempaskan mamalia laut dari kedalaman termoklin ke dekat permukaan. Hal ini dapat menyebabkan dekompresi mamalia laut akibat perubahan yang mendadak.

“Ada kecenderungan peningkatan yang terdampar pada periode transisi dan musim Timur. Hal tersebut didapatkan dari analisis data kejadian dengan pola meteo dan oseano,” kata Agus.

Penulis: Dewi Purningsih

Editor: Devi Anggar Oktaviani

Top