Pengelolaan Karst Perlu Lebih Dari Sekadar Kriteria Teknis

Reading time: 2 menit
pengelolaan karst
Foto: pixabay.com

Malang (Greeners) – Pakar Karst Universitas Gajah Mada (UGM), Dr. Eko Haryono, M.Si menyatakan untuk menahan laju kerusakan karst di Indonesia maka pengelolaan karst harus komperehensif. Menurutnya, kriteria penetapan kawasan fungsi lindung bentang alam karst sebaiknya tidak hanya didasarkan pada kriteria teknis seperti yang berlaku saat ini.

“Kriteria ini tidak akan berjalan efektif di era otonomi daerah. Kriteria-kriteria yang hanya berbasis pada kriteria teknis akan cenderung memicu timbulnya konflik dalam implementasinya,” kata dosen Departemen Geografi Lingkungan Universitas Gajah Mada ini, Senin (05/09/2016).

Ia mengusulkan kriteria kawasan karst yang bersifat teknis perlu dipadukan dengan kriteria relatif berbasis kepentingan dan keunikan. Nilai kepentingan, kata dia, menyangkut tata ruang dan konflik pemanfaatan lahan yang ada. Sementara itu, nilai keunikan berbasis pada kriteria teknis terkait perkembangan morfologi, hidrologi, dan hidrogeologi karst.

BACA JUGA: Kerusakan Kawasan Karst Terbesar Terjadi di Jawa Timur

Eko menambahkan, kawasan karst dengan konflik pemanfaat yang tinggi dapat dinilai memiliki kepentingan tinggi untuk dijadikan kawasan lindung. Di sisi lain, karst dengan perkembangan lanjut yang umumnya mempunyai keunikan tinggi diarahkan untuk kawasan fungsi lindung. Sedangkan kawasan karst yang dapat dijadikan kawasan budidaya diarahkan ke kawasan karst yang belum berkembang dengan konflik pemanfaatan yang rendah.

“Kepentingan yang dimaksud harus mempertimbangkan skala dan kedetailan informasi. Penetapan kawasan lindung tersebut dapat diusulkan melalui tahapan kawasan lindung dengan kepentingan nasional dan kawasan lindung dengan kepentingan pulau atau provinsi,” ujarnya.

Secara nasional, pemerintah pusat harus menetapkan kawasan karst yang memiliki kepentingan dan keunikan tinggi. Sementara pada skala provinsi, penetapan kawasan lindung berdasarkan keunikan dan kepentingan provinsi.

Eko juga menekankan perlunya penyusunan peraturan perundangan yang mengatur operasionalisasi konservasi berbasis geodiversitas. Hal tersebut penting dilakukan agar pengelolaan kawasan karst memiliki pijakan hukum yang kuat. Selain itu skema pengelolaan kawasan lindung di bawah UNESCO seperti warisan dunia atau cagar biosfer pun perlu didorong dalam rangka perlindungan karst yang memiliki nilai unggul.

BACA JUGA: Pembangunan Berbasis Jawa Sentris Picu Bencana Ekologis Pulau Jawa

Tidak hanya itu, kriteria spasial yang juga mendesak untuk disusun adalah terkait penetapan pemilihan gua untuk wisata alam. Wisata gua massal sebaiknya hanya dilakukan di gua-gua yang mempunyai energi tinggi dengan sirkulasi udara yang terhubung dengan udara luar. Gua-gua ini pada umumnya memiliki daya dukung yang lebih tinggi untuk menampung wisatawan.

Dihubungi via seluler, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur, Rere Christanto menyatakan, tingginya kerusakan kawasan karst di Jawa Timur seperti di daerah Tuban dan daerah lain memang disebabkan oleh pertambangan. Sementara pemerintah daerah tidak ada kemauan untuk melindungi kawasan karst yang fungsinya sangat penting sebagai kawasan tangkap air. “Belum ada peraturan yang fokus melindungi kawasan karst di Jawa Timur,” kata Rere, Selasa (06/09).

Menurutnya, kebijakan untuk melindungi kawasan karst sangat penting untuk menahan laju kerusakan kawasan yang dampaknya terjadi bencana ekologis seperti banjir. Ia menegaskan, jika perlindungan dan pengelolaan kawasan karst tidak segera dilakukan, maka bencana ekologis akan terus mengintai Jawa.

Penulis: HI/G17

Top