Simakobu, Monyet Ekor Babi Khas Mentawai

Reading time: 3 menit
simakobu
Simakobu (Simias concolor). Foto: agpix.com

Perburuan liar dan rusaknya habitat akibat deforestasi dan perambahan hutan lagi-lagi menjadi masalah utama yang membuat jumlah habitat fauna khas Indonesia khususnya primata menjadi semakin berkurang. Simakobu (Simias concolor) adalah salah satu dari banyak jenis primata yang mengalami ancaman tersebut.

Simakobu atau dalam penamaan lokal monyet ekor babi merupakan salah satu primata endemik Kepulauan Mentawai. Simakobu memiliki dua subspesies yaitu Simias concolor concolor dan Simias concolor ssp. siberu. Subspesies Simias concolor concolor mendiami pulau Pagai Selatan, Pagai Utara, dan Sipora. Sedangkan subspesies Simias concolor ssp. siberu hanya dapat ditemui di pulau Siberut.

Simakobu merupakan spesies yang menghadapi risiko kepunahan sangat tinggi di alam dalam waktu dekat (critically endangered) dibandingkan primata endemik Mentawai lainnya. Hal ini terkait dengan menurunnya jumlah populasi simakobu sebesar 22-75 persen dari tahun 1980 hingga saat ini (Whittaker, 2006).

Simakobu mendiami habitat hutan di lereng bukit di pedalaman pulau maupun di hutan hujan dataran rendah, hutan daerah rawa air payau dan tawar. Primata ini hidup dalam kelompok kecil yang terdiri dari satu pejantan, satu atau lebih betina dan anakan (dilansir pada laman himakova.lk.ipb.ac.id,). Simakobu jantan biasanya mengeluarkan ‘loud call’ yaitu rangkaian suara keras yang terdengar hingga 500 meter jauhnya. Suara ini akan sering terdengar pada pagi dan sore hari.

Melihat dari prilakunya, primata ini merupakan satwa diurnal (hidup pada siang hari) dan bersifat arboreal (melakukan aktivitas diatas pepohonan). Makanan utama satwa ini adalah dedaunan (leaf monkeys) dan buah-buahan. Menurut para ahli, makanan yang terdiri dari daun-daun muda banyak mengandung selulosa yang dibutuhkan satwa pemakan tumbuhan.

simakobu

Simakobu sedang beristirahat di dahan pohon. Foto: indonesianendemicanimals.blogspot.co.id

Secara morfologi simakobu memiliki cirri-ciri berupa tubuh yang ditumbuhi rambut berwarna coklat kehitaman dengan wajah ditumbuhi rambut berwarna kehitaman. Warna rambut pada jambul kepala dan bahu lebih gelap, kaki dan tangannya berwarna kehitam-hitaman, wajah hitam layaknya beruk (Macaca nemestrina).

Bentuk badan simakobu pendek dan gemuk, serta anggota-anggota badannya sama panjang. Panjang tubuh primata ini berkisar antara 45-52,5 cm dengan berat badan lebih kurang 6-9 kg (WWF, 1980; Khatimah 2010). Simakobu memiliki ekor yang memang menyerupai ekor babi. Ekornya lumayan pendek sekitar 15 cm dan ditumbuhi sediki rambut. Hidungnya pesek dan terkesan menghadap ke atas.

Agak sulit untuk membedakan antara simakobu jantan dan betina karena mereka tidak mempunyai perbedaan warna. Baik jantan maupun betinanya memiliki warna kelabu tua ataupun keemasan. Sedikit membedakan antara jenis jantan dan betina adalah dari ukuran tubuhnya, dimana jenis jantan dewasa memiliki ukuran tubuh lebih besar dibandingkan betina dewasa. Kemudian pada gigi taringnya, jantan memiliki taring yang lebih panjang daripada gigi taring betina.

Status simakobu menurut IUCN (2009) adalah kritis (critically endangered). Selain itu, primata ini juga terdaftar dalam Appendix I CITES. Di Indonesia, simakobu telah dilindungi secara hukum melalui peraturan perlindungan binatang liar no. 266 Th. 1931, SK MenHut 10 Juni 1991 no. 30/Kpts-TT/1991 (Khatimah 2010).

Sebagai informasi, organisasi Protection Forest and Fauna (Profauna) Indonesia menggelar kampanye bertajuk ‘Jangan Beli Primata’ kepada masyarakat Indonesia. Kampanye ini merupakan bagian dari peringatan Hari Primata yang diperingati setiap tanggal 30 Januari. Lebih dari 80 persen primata di Indonesia berada dalam kondisi terancam punah. Bahkan, dalam daftar “25 Primata Paling Terancam Punah di Dunia Periode 2014-2016”, Indonesia mempunyai 3 wakil yaitu Tarsius Siau, Simakobu, dan Orangutan Sumatera (Greeners.co, edisi 19 Januari 2017).

Juru kampanye Profauna, Swasti Prawidya Mukti, mengajak seluruh masyarakat untuk bersama-sama beraksi meningkatkan kepedulian terhadap kelestarian primata Indonesia. Sebab, Indonesia yang juga merupakan negara tropis mempunyai keanekaragaman jenis primata yang tinggi.

Beberapa faktor yang menyebabkan primata-primata ini terancam punah antara lain karena kerusakan habitat akibat alih fungsi lahan, perburuan, dan perdagangan. Menurut Asti, semua faktor tersebut saling berkaitan satu dengan lain. Namun, masalah yang tak kalah penting saat ini adalah masih banyaknya perdagangan satwa jenis primata yang dijadikan hewan peliharaan dan koleksi.

simakobu

Penulis: Sarah R. Megumi

Top