Hari Bumi, Saatnya Bersama Bebaskan Planet dari Lilitan Plastik

Reading time: 3 menit
Hari Bumi pada 22 April menjadi peringatan penting bagi masyarakat untuk membebaskan bumi dari sampah plastik. Foto: Freepik
Hari Bumi pada 22 April menjadi peringatan penting bagi masyarakat untuk membebaskan bumi dari sampah plastik. Foto: Freepik

Jakarta (Greeners) – Tema “Planet vs Plastic” pada Hari Bumi pada 22 April menjadi peringatan penting bagi masyarakat dunia untuk membebaskan planet ini dari keterikatan plastik. Kini, saatnya masyarakat bertindak nyata mengurangi penggunaan plastik sekali pakai. Hal itu demi menyelamatkan kehidupan manusia, hewan, dan seluruh elemen di planet bumi.

“Masyarakat harus sadar saat ini bumi kita sudah sakit. Sudah banyak ekosistem baik sungai, laut, daratan yang terkontaminasi oleh sampah plastik. Ini tidak terjadi di Indonesia saja, tapi di seluruh dunia,” kata Koordinator Brand Audit Divisi Edukasi Ecological Observation and Wetland Conservation (Ecoton), Alaika Rahmatullah kepada Greeners, Senin (22/4).

BACA JUGA: 76 Persen Sampah Plastik Fleksibel Bocor ke Lingkungan

Berdasarkan data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) komposisi sampah plastik di Indonesia pada tahun 2023 mencapai 18,4%. Menurut Buku Rekam Jejak Mikroplastik oleh Ecoton, sampah plastik di lingkungan juga telah mengancam flora dan fauna. Salah satu fenomena yang ada saat ini adalah pohon terlilit sampah plastik.

Kemudian, fenomena pembakaran secara terbuka juga menyumbang mikroplastik di udara. Sampah plastik dapat melepaskan senyawa beracun (dioxin) dan mikroplastik di udara. Dampak dari pembakaran plastik ini bisa menyebabkan gangguan kesehatan pada manusia.

Hari Bumi pada 22 April menjadi peringatan penting bagi masyarakat untuk membebaskan bumi dari sampah plastik. Foto: Freepik

Hari Bumi pada 22 April menjadi peringatan penting bagi masyarakat untuk membebaskan bumi dari sampah plastik. Foto: Freepik

Plastik Menghasilkan Zat Kimia Beracun

Sementara itu, Peneliti Mikroplastik Ecoton, Rafika Aprilianti mengatakan, plastik merupakan sebuah benda yang sangat berbahaya. Proses produksinya menggunakan ekstraksi minyak bumi. Kemudian, masyarakat menggunakannya pada tahap konsumsi, hingga berakhir menjadi sampah plastik. Seluruh siklus tersebut berdampak buruk bagi lingkungan dan manusia.

Plastik menghasilkan zat kimia beracun yang dapat mengganggu kesehatan tubuh makhluk hidup dan lingkungan. Bahan kimia racun plastik yang bersifat bioakumulatif mampu menumpuk dalam jaringan organisme hidup seiring waktu, terutama dalam rantai makanan.

“Ini berarti organisme yang lebih tinggi dalam rantai makanan, seperti predator puncak, dapat mengakumulasi konsentrasi senyawa ini yang lebih tinggi dari yang terdapat dalam makanannya,” ujar Rafika.

Selain itu, plastik juga memiliki senyawa yang bersifat Persistent Organic Pollutants (POPs). Senyawa itu akan bertahan dalam lingkungan untuk waktu yang lama setelah mereka dilepaskan. Mereka dapat tersebar luas melalui udara, air, dan tanah, dan dapat menyebar ke daerah yang jauh dari tempat asal mereka.

Oleh sebab itu, lanjut Rafika, perlu tindakan global untuk mengakhiri polusi plastik yang terjadi di planet bumi untuk melindungi kesehatan manusia dan biota dari dampak negatif plastik.

Bahaya Mikroplastik

Kehidupan manusia di planet bumi kini menghadapi polusi plastik yang kian mengkhawatirkan. Tanpa sadar, plastik yang masyarakat gunakan sehari-hari bisa berpotensi menjadi mikroplastik.

Menurut Rafika, keberadaan mikroplastik ini berbahaya. Sebab, ukurannya sangat kecil dan dapat masuk ke dalam semua objek biologi, meliputi tubuh makhluk hidup.

“Selain itu, mikroplastik bisa mengikat dan menyerap racun yang ada di lingkungan. Kemudian, dibawa menuju ke dalam tubuh. Mikroplastik juga mempunyai senyawa racun yang bersifat EDC atau senyawa pengganggu hormon,” ungkapnya.

BACA JUGA: Hari Lingkungan Hidup Sedunia, KLHK Soroti Pengendalian Sampah Plastik

Berdasarkan sumbernya, mikroplastik terbagi dua jenis, yaitu mikroplastik primer dan sekunder. Mikroplastik primer adalah mikroplastik yang sengaja dibuat oleh pabrik dalam bentuk kecil (mikro). Sementara, mikroplastik sekunder adalah mikroplastik hasil degradasi plastik berukuran besar.

“Misalnya, botol plastik tercecer di lingkungan kemudian terkena sinar matahari, arus perairan, udara dan lain sebagainya akan terpecah menjadi mikroplastik,” ujarnya.

Sulit Mendaur Ulang Sampah Plastik

Berdasarkan penelitian Ecoton selama audit sampah di lingkungan, sampah plastik masih banyak berserakan di lingkungan. Sampah plastik yang mendominasi adalah sachet, kresek, dan botol plastik.

“Jenisnya adalah plastik other (7), LDPE (4), PS (5). Sampah plastik tersebut termasuk kategori jenis sampah plastik yang susah untuk daur ulang,” kata Alaika.

Bahkan, berdasarkan pengamatan Alaika bersama Ecoton, daur ulang pun masih melepaskan polusi yang mengakibatkan pencemaran lingkungan.

Cost (biaya)-nya juga lebih mahal daripada virgin plastik,” ungkapnya.

Faktanya, banyak industri daur ulang di Eropa yang bangkrut seperti di Belanda. Akhirnya, mereka mengirimkan sampahnya ke negara berkembang, termasuk Indonesia. Sebab, negara di Eropa tersebut belum mampu mengolah plastik.

Alaika menegaskan, perlu tindakan bersama baik masyarakat maupun produsen. Hal itu untuk mengurangi plastik dan meredesain kemasan yang ramah lingkungan.

Perlu Komitmen Secara Global

Alaika menambahkan, solusi yang tepat adalah upaya pengurangan plastik dan melalui komitmen global dalam penanggulangan sampah plastik. Saat ini, sejumlah negara Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga kembali bertemu dalam Intergovernmental Negotiating Committee yang keempat di Ottawa Kanada. Hal itu untuk negosiasi kesepakatan perjanjian plastik global.

Lebih dari 100 organisasi masyarakat sipil dan pemerintah berupaya mengakhiri polusi plastik. Mereka menyerukan kepada negara-negara anggotanya untuk bekerja sama dan menegosiasikan perjanjian plastik global. Hal ini untuk mengatasi seluruh siklus hidup plastik dengan memprioritaskan pengurangan produksi plastik.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top