Indonesia Harus Jeli Menangkap Peluang dari Perdagangan Karbon

Reading time: 3 menit
Nilai potensi perdagangan karbon Indonesia bisa terbilang besar, jika jeli menangkap peluang tersebut. Foto: Shutterstock

Jakarta (Greeners) – Pemerintah Indonesia didorong untuk memaksimalkan efisiensi potensi sumber daya alam untuk arah pembangunan berkelanjutan. Hal ini dapat terimplementasi melalui ekonomi hijau. Jika jeli, Indonesia punya peluang dari perdagangan karbon.

Hal itu tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dalam pembangunan nasional. Target tersebut tidak sebatas perbaikan lingkungan melalui penurunan emisi, tapi juga harus menyasar pada perbaikan sosial dan ekonomi masyarakat.

Berdasarkan Global Footprint Network terkait Country Overshoot Days 2021, Indonesia masuk dalam negara paling efisien dalam memanfaatkan sumber daya alamnya. Hal ini mengacu pada Country Overshoot.

Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) I Wayan Susi Dharmawan mengatakan, dibanding negara lain, seperti Uni Emirat Arab, Kanada, Amerika, Indonesia masih jauh lebih efisien karena Country Overshoot Day negara-negara tersebut jatuh pada bulan Februari.

Padahal, jumlah negara Indonesia sangat besar yakni sekitar 270 juta jiwa. Potensi tersebut, sambung Wayan harus bisa Indonesia maksimalkan melalui skema pembangunan berkelanjutan dan ekonomi hijau.

Indonesia menetapkan target penurunan emisi gas rumah kaca pada tahun 2030 sebesar 29 % dengan usaha sendiri. Lalu 41 % dengan dukungan internasional. Tak hanya itu, melalui dokumen update Nationally Determined Contribution (NDC) tahun 2021, dalam Long Term Strategy- Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LTCCR), Indonesia menargetkan mencapai net zero emission (NZE) tahun 2060.

“Penerbitan Perpres Nomor 98 Tahun 2021 terkait Nilai Ekonomi Karbon (NEK) menjadi titik tolak sebagai payung hukum perdagangan karbon di Indonesia, khususnya terkait dengan aksi mitigasi dan adaptasi krisis iklim dan perdagangan karbon,” kata Wayan dalam webinar Nilai Ekonomi dan Pendugaan Karbon Hutan, Rabu (16/3).

Dalam Perpres tersebut juga memuat syarat utama aksi pemerintah, baik pusat maupun daerah, pelaku usaha serta masyarakat luas untuk mendaftarkan dalam sistem registri nasional (SRN).

Perdagangan Karbon Memiliki Dua Aspek

Wayan menambahkan, implementasi kebijakan tersebut sangat memungkinkan melibatkan seluruh elemen. Termasuk dari tingkat nasional hingga tingkat masyarakat tapak dan desa. Namun, Wayang mengingatkan, pengelolaan pembangunan berkelanjutan tak sekadar memastikan aspek ekologis semata dan menutup aspek lainnya, seperti sosial dan ekonomi.

“Pertimbangan ini penting karena kita harus punya target tujuan yang bisa berjalan harmonis sehingga bisa berjalan maksimal,” ucapnya.

Perdagangan karbon lanjutnya terdiri atas dua aspek, yakni perdagangan emisi (pemerintah menentukan batas emisi) dan offset emisi (base line dan target emisi usul dari luar pemerintah dan pelaku usaha).

Nantinya, pengusul atau pelaku usaha yang telah menurunkan emisinya (sesuai target) melalui aksi mitigasinya akan mendapatkan Sertifikat Pengurangan Emisi Indonesia (SPEI). Sertifikat ini memiliki batas waktu tertentu sehingga harus terus terbarui.

Wayan mengatakan, SPEI dapat diperjualbelikan baik secara langsung ke perusahaan lain maupun melalui bursa karbon. “Dengan demikian terjadi perpindahan kepemilikan karbon, bagian dari target NDC,” ujar dia.

Implementasi bentuk penurunan emisi saat ini juga telah beberapa badan atau lembaga yang bergerak dalam lingkungan kembangkan. Misalnya program tunda tebang. Badan Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) memastikan pemberian insentif fiskal.

Sebagai contoh, jika kelompok tani hutan rakyat melakukan penundaan penebangan mereka berkontribusi terhadap penurunan emisi. Sebagai kompensasi, mereka mendapat insentif.

Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim Dorong Pencapaian Target NDC

Sementara itu, Carbon Expert dari PT Gaia Eko Daya Buana Joseph A. Hutabarat menyatakan, kegiatan adaptasi dan mitigasi melalui perdagangan karbon dalam perubahan iklim menjadi faktor utama untuk mencapai target NDC di Indonesia.

Dalam konteks perdagangan karbon antar negara, negara maju akan membeli certified emission reduction (CER) dari negara berkembang. Negara berkembang akan mendapatkan manfaat berupa uang dari penjualan tersebut. Dalam perdagangan karbon, setiap penurunan satu ton karbon akan mendapatkan sertifikat CER.

Joseph menjelaskan ada beberapa tahap untuk mendapatkan sertifikat CER yaitu pra studi kelayakan, studi kelayakan, penyusunan dokumen proyek, registrasi, verifikasi reduksi emisi serta validasi dokumen proyek.

“Dalam studi kelayakan, misalnya sangat penting untuk menentukan apakah proyek karbon menguntungkan secara ekonomi atau tidak,” imbuhnya.

Ia mengingatkan perdagangan karbon sangat bergantung pada harga pasar global. Sehingga baik pelaku usaha maupun pemerintah harus mampu membaca peluang perdagangan karbon.

Penulis : Ramadani Wahyu

Editor : Ari Rikin

Top