Kejadian Bencana Bakal Berulang, Siaga dan Kurangi Dampaknya

Reading time: 3 menit
Banjir menjadi salah satu bencana hidrometeorologi yang dominan terjadi. Foto: Shutterstock

Jakarta (Greeners) – Bencana akan menjadi peristiwa yang berulang. Literasi sejarah bencana di masa lalu harus publik ketahui agar bisa meminimalisir dampak dan memperkuat mitigasi bencana. Restorasi dan pemulihan lingkungan pun wajib dilakukan. Jika tidak, bencana yang akan terjadi hanya akan memberi dampak, kerugian materiil dan korban jiwa yang lebih besar lagi.

Seperti halnya, siklon tropis Seroja di Nusa Tenggara Timur yang terjadi April 2021, dalam catatan masa lalu, badai tropis serupa pernah terjadi tahun 1973.

Pelaksana tugas (Plt) Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Bencana Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Abdul Muhari menyebut, di sebuah surat kabar nasional berita badai besar di Flores tahun 1973 pernah diberitakan. Bahkan kerugiannya mencapai Rp 2,5 miliar.

“Bayangkan di tahun itu, kerugian Rp 2,5 miliar tentu besar. Belum lagi adanya korban jiwa,” katanya dalam konferensi pers Kaleidoskop Bencana 2021 BNPB secara virtual di Jakarta (31/12).

Abdul mengungkapkan, bencana adalah peristiwa berulang. Sekali terjadi di masa lalu akan terjadi lagi di masa depan.

Kejadian Bencana 2021 Turun Tapi Dampaknya Naik

Sementara itu dalam ulasan kebencanaan di tahun 2021, Sekretaris Utama BNPB Lilik Kurniawan mengatakan, kejadian bencana di tahun 2021 turun 35 % dibandingkan tahun 2020. Namun dampak bencana di tahun 2021 lebih besar. Besarnya dampak bencana tersebut karena adanya bencana gempa bumi yang memakan banyak korban jiwa.

“Tahun 2020 kejadian bencana 4.649 dan tahun 2021 ada 3.092 kejadian bencana. Namun dampak korban bencana tahun 2021 naik 76,9 %,” kata Lilik.

Bencana dominan yang terjadi lanjutnya adalah hidrometeorologi seperti banjir dan longsor. Tahun 2021 terjadi La Nina (peningkatan curah hujan saat musim hujan) sehingga bencana banjir mendominasi mencapai 1.298 kejadian. Di posisi berikutnya, cuaca ekstrem 804 kejadian dan tanah longsor 632 kejadian.

Lilik meminta provinsi, kabupaten/kota harus memiliki peta risiko bencana. Kemudian rencana penanggulangan bencana selama 5 tahun dan membangun desa tangguh bencana.

“Penyempurnaan data dan informasi risiko bencana juga perlu. Kemudian mitigasi infrastruktur tangguh bencana serta penguatan budaya sadar bencana di masyarakat,” paparnya.

Senada dengan Lilik, Abdul juga meminta masyarakat terus mencermati risiko bencana di lingkungan tempat tinggalnya. Jika memiliki potensi gempa, harus memperkuat bangunan sehingga tahan gempa. Penguatan bangunan ini menjadi kunci mitigasi bencana.

“Tidak ada gempa yang membunuh. Tetapi bangunan yang tidak tahan gempalah yang membunuh,” ucap Abdul.

Terkait penguatan bangunan ini Lilik dan Abdul berharap, tidak hanya untuk bangunan baru, tetapi juga bangunan yang sudah berdiri. Para ahli harapannya bisa memberi kontribusi melahirkan teknologi yang dapat masyarakat pakai untuk memperkuat bangunan rumahnya yang sudah berdiri. Selain mudah masyarakat aplikasikan, teknologi itu juga harus terjangkau dan murah.

Bangunan tahan gempa menjadi kunci mitigasi bencana gempa bumi. Foto: Shutterstock

Pulihkan Lingkungan Kritis Kurangi Risiko Bencana

Di sisi lain, BNPB juga menyoroti tata ruang yang kritis dan perlu restorasi lingkungan. Daerah aliran sungai yang kering selama puluhan tahun lalu berubah menjadi pemukiman menjadi bom waktu yang kemudian berujung bencana banjir.

Abdul mengungkapkan, belajar dari banjir yang melanda Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah yang sulit surut, ada beberapa hal yang perlu publik cermati.

“Di sana ada pertemuan dua sungai utama Kapuas dan Melawi. Lalu panjang daerah aliran sungainya mencapai 1.066 kilometer dan ada kondisi elevasi sehingga banjir sulit surut,” imbuhnya.

Menurutnya, tahun 1960 banjir pernah terjadi dan 20 tahun terakhir tidak pernah terjadi. Puluhan tahun lalu kondisi sepanjang daerah aliran sungai masih bagus. Namun beberapa puluh tahun terakhir mengalami penurunan daya dukung dan tampung lingkungan. Alih fungi dan terjadi sedimentasi sehingga air meluber ke permukaan.

Oleh sebab itu restorasi lingkungan dan pemulihan degradasi lingkungan harus menjadi agenda penting. Presiden Joko Widodo pun tambah Lilik telah menginstruksikan untuk memulihkan dan mempertahankan kelestarian ekosistem sepanjang daerah aliran sungai.

“Mari kita jaga lingkungan dan restorasi agar optimal sebagai daerah resapan air,” imbuhnya.

Penulis : Ari Rikin

Top