Masyarakat Adat Belum Masuk Dalam Revisi UU Konservasi

Reading time: 3 menit
revisi uu konservasi
Ilustrasi. Foto: Erik B/ flickr.com

Jakarta (Greeners) – Revisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem yang saat ini berada di tangan Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan telah masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) mendapat perhatian dari banyak pihak. Terutama terkait tidak dimasukkannya masyarakat adat dalam revisi UU tersebut.

Kasmita Widodo, Koordinator Working Group ICCAs Indonesia (WGII) mengatakan, masyarakat adat merupakan salah satu aktor pengelola konservasi di Indonesia dengan sistem kearifan melalui praktik dan nilainya yang sudah tidak diragukan lagi. Namun, kontribusi masyarakat adat sebagai bagian tata kelola konservasi Indonesia masih belum diakui secara penuh oleh pemerintah.

Karena pentingnya peran masyarakat adat ini, maka WGII berupaya mendorong pemerintah dan DPR RI untuk mengakui areal konservasi kelola masyarakat (AKKM). Dengan adanya AKKM, pemerintah akan terbantu dalam menjalankan konservasi terutama di daerah yang terpencil dan jauh dari jangkauan pemerintah.

“Revisi UU Konservasi ini juga harus mengatur sistem pengadministrasian kawasan konservasi dengan baik serta memperhatikan hak-hak masyarakat adat,” ujar Kasmita di Jakarta, Selasa (11/04).

BACA JUGA: Revisi UU Konservasi Belum Mengakomodir Masyarakat Adat

Selain masyarakat adat, terdapat klausul tentang penegakan hukum dalam draf revisi UU milik DPR RI yang juga mendapat kritikan. Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Nur Hidayati menyatakan bahwa keberadaan Pasal 128 jo Pasal 129 revisi UU Konservasi Keanekaragaman Hayati dalam draf milik DPR RI tentang keberadaan tenaga pengamanan hutan (swasta) tidaklah sesuai dengan sistem peradilan di Indonesia.

“Karena memang penegakan hukum dalam pengelolaan konservasi di dalam revisi UU itu hendaknya dilakukan oleh aparat pemerintah sesuai kewenangannya, bukan oleh pengamanan hutan oleh swasta,” tegasnya.

Nur Hidayati atau akrab disapa Yaya ini mengaku bahwa ada kekhawatiran kalau revisi UU Konservasi yang semula ditujukan untuk penyelamatan wilayah, malah disusupi oleh kepentingan-kepentingan bisnis. Tanpa adanya pengakuan terhadap keberadaan masyarakat adat, maka revisi UU konservasi ini hanya akan menjadi ladang kepentingan bisnis. Seperti misalnya plasma nutfah sumber daya genetik Indonesia telah lama menjadi target dari perusahaan-perusahaan farmasi dan biologi. “Kita enggak pernah tahu biopiracy seperti apa karena tidak pernah ada pengungkapan,” tambahnya.

Belum Dipelajari

Dihubungi terpisah, Staf Ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bidang Hubungan Antar Lembaga Pusat dan Daerah yang juga ketua perumus revisi UU Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem, Ilyas Assad, mengaku belum mempelajari secara detail draf revisi UU milik DPR RI tersebut.

“Soal masyarakat adat, itu betul, memang perlu ada yang kita atur karena masyarakat adat itu kan punya kawasan-kawasan konservasi di hutan-hutan adat. Apakah nanti itu akan menjadi opsi di rapat nanti tergantung pembahasan kita. Kalaupun diangkat di rapat, saya rasa kawan-kawan DPR juga akan setuju isunya,” kata Ilyas.

Terkait pengamanan hutan oleh pihak swasta, menurut Ilyas pengamanan hutan oleh masyarakat memang dibolehkan. Namun apa yang dimaksud oleh DPR RI terkait hal ini, Ilyas belum bisa bicara banyak karena belum mempelajari draf milik DPR RI tersebut lebih dalam.

“Kalau disebut pengawasan itu kan ada yang namanya pengawasan masyarakat dan pengawasan itu dimungkinkan. Mungkin pertimbangan DPR itu untuk melaksanakan pengamanan tidak bisa hanya oleh pemerintah. Perlu juga ada pengamanan dari masyarakat. Masyarakat di sini mungkin perusahaan tapi yang perlu kita atur itu kan sebenarnya mekanismenya. Nanti kita lihat lagi drafnya,” katanya.

BACA JUGA: Revisi UU Nomor 5 Tahun 1990, Perluas Kategori Perlindungan Satwa Liar

Sebagai informasi, Working Group ICCAs Indonesia (WGII) sendiri adalah kelompok kerja yang terbentuk pasca terselenggaranya Simposium ICCAs di Bogor pada tanggal 13-14 Oktober 2011. ICCAs Indonesia beranggotakan beberapa LSM di Indonesia, seperti Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), WWF Indonesia, KIARA, Non-Timber Forest Products – Exchange Programme (NTFP-EP), WALHI, AMAN, Sawit Watch, Pusaka dan Huma.

WGII bertujuan untuk meningkatkan pemahaman mengenai bagaimana masyarakat adat di Indonesia melakukan manajemen konservasi alam melalui kebiasaan kearifan lokal mereka.

Penulis: Danny Kosasih

Top