WWF: Paris Agreement Perlu Dukungan Tambahan dari Setiap Negara

Reading time: 2 menit
Ilustrasi: Ist.

Jakarta (Greeners) – Pertemuan Para Pihak ke-21 (COP 21) Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) telah resmi ditutup dengan diadopsinya Kesepakatan Paris atau Paris Agreement. Organisasi lingkungan dunia World Wide Fund (WWF) merasa Paris Agreement ini mampu menjadi dasar upaya jangka panjang dalam menghadapi perubahan iklim.

Menurut WWF, kesepakatan tersebut merupakan cerminan sikap pemerintah di berbagai belahan dunia yang telah mengesampingkan kepentingan masing-masing. Pesan kuat yang tertuang di dalam Paris Agreement adalah kesadaran dan sikap baru untuk bersama-sama menghadapi ancaman perubahan iklim, mengambil tindakan yang lebih secara progresif, dan juga bersama mencapai tujuan yang melindungi kelompok rentan di dunia.

Meski demikian, WWF memandang Paris Agreement tetap memerlukan penguatan dan dukungan tambahan dari tiap negara. Hanya dengan demikian, langkah yang ditempuh berada pada jalur pengurangan emisi yang menahan laju pemanasan global di bawah 2 derajat Celcius atau bahkan 1.5 derajat Celcius. Saat ini INDCs (Intended Nationally Determined Contributions) hanya memenuhi setengah dari pengurangan emisi yang diperlukan, masih meninggalkan kekurangan sebesar 12 – 16 giga ton emisi.

Dr. Efransjah, CEO WWF Indonesia menyatakan bahwa WWF sebetulnya menyambut positif Paris Agreement ini karena kesepakatan tersebut memiliki beberapa elemen penting untuk menyelamatkan dunia dari dampak terburuk perubahan iklim. Di dalamnya juga sudah menggambarkan perhatian untuk perlindungan kelompok rentan dan kepentingan Indonesia.

Paris Agreement memuat tujuan global untuk adaptasi perubahan iklim, termasuk secara terpisah menyebut tentang kerusakan dan kerugian akan dampak perubahan iklim,” terangnya mengutip dari keterangan resmi yang diterima oleh Greeners, Jakarta, Minggu (13/12).

Selain itu, Paris Agreement juga menjelaskan bahwa semua negara harus bertindak untuk menahan laju deforestasi, degradasi lahan dan memperbaiki tata kelola lahan. Termasuk proses yang dapat dijadikan acuan untuk melakukan perhitungan emisi karbon pada sektor lahan. Indonesia, bersamaan dengan berlangsungnya COP 21, telah meluncurkan sistem perhitungan emisi karbon dari sektor lahan yang dikenal dengan INCAS (Indonesia National Carbon Accounting System).

Menurut Efransjah, selain mengurangi laju deforestasi dan degradasi lahan, upaya yang perlu ditempuh sejak sekarang adalah mengikuti transisi global menuju penggunaan energi bersih dan terbarukan.

“Lebih penting lagi, pasca COP 21 ini, bagaimana para negara termasuk Indonesia mengimplementasikan komitmen dalam INDCs secara sistematis dan bertanggung jawab. Melibatkan berbagai kelompok masyarakat madani dalam Delegasi RI oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan merupakan langkah maju yang mewarnai upaya mewujudkan tata kelola yang lebih baik,” lanjutnya.

Direktur Komunikasi dan Advokasi WWF Indonesia Nyoman Iswarayoga menambahkan, pembangunan rendah karbon seyogianya hanya terwujud melalui kerja sama dengan aktor non-pemerintah termasuk di dalamnya sektor bisnis, kota, dan kelompok masyarakat luas. Hasil yang dicapai di Paris adalah buktinya. Proses ini telah membuat masyarakat dunia lebih sadar dan peduli akan pentingnya kolaborasi skala besar untuk menangani permasalahan perubahan iklim.

Paris Agreement menghendaki pada tahun 2018 semua negara bisa melaporkan pencapaiannya terhadap tujuan yang disepakati di akhir COP 21, meliputi pengurangan emisi, adaptasi dan pendanaan,” pungkas Nyoman.

Penulis: Danny Kosasih

Top