Pemerintah Diminta Segera Terbitkan Aturan Moratorium Sawit

Reading time: 3 menit
moratorium sawit
Foto: greeners.co/Danny Kosasih

Jakarta (Greeners) – Koalisi Masyarakat Sipil mendesak pemerintah untuk segera menerbitkan produk hukum dari rencana kebijakan moratorium sawit yang telah diumumkan oleh Presiden Joko Widodo dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada April 2016. Moratorium ini sendiri dipandang sebagai inisiatif kebijakan untuk menyelamatkan hutan Indonesia yang tersisa.

Kepala Departemen Kajian, Kebijakan dan Pembelaan Hukum Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Zenzi Suhaedi, mengatakan bahwa moratorium izin sawit tersebut harus mencakup penundaan izin pelepasan kawasan hutan untuk ekspansi perkebunan sawit hingga evaluasi izin-izin sawit yang ada dan masih memiliki tutupan hutan untuk dikembalikan sebagai kawasan lindung yang tidak boleh dialihfungsikan. Pengembalian wilayah hutan ke dalam kawasan lindung juga tidak boleh menghilangkan kewajiban pemilik izin untuk melindungi hutan dan wilayah konservasi lainnya.

“Makna moratorium itu harus sama dengan bertahannya tutupan hutan. Oleh karena itu, harapan untuk moratorium baru ini adalah menghentikan proses ekspansi sawit ke wilayah hutan lainnya. Moratorium bukan hanya berhenti menerbitkan izin tapi harus ada poin positif juga, yaitu hal-hal yang harus dikerjakan pemerintah dengan mengembalikan daya dukung dan tampung lingkungan,” katanya, Jakarta, Jumat (19/08).

BACA JUGA: KLHK Targetkan Moratorium Sawit dan Tambang Rampung Juni 2016

Selain itu, agar kebijakan moratorium sawit benar-benar dapat menyelamatkan hutan yang tersisa dan memberikan rasa keadilan, Zenzi menyampaikan bahwa pemerintah harus menjalankan proses penegakan hukum sesegera mungkin atas segala bentuk kejahatan dan pelanggaran yang ditemukan dalam proses evaluasi izin-izin sawit yang sudah ada, terutama untuk izin-izin perkebunan sawit yang beroperasi secara ilegal (berada di kawasan hutan).

“Pemerintah juga harus sesegera mungkin mencabut izin-izin perkebunan sawit korporasi yang berada di kawasan hutan. Mengkaji ulang izin konsesi kebun sawit (dan HTI) yang berada di lahan gambut disertai kewajiban untuk merestorasi bagi konsesi yang mengalami kebakaran sebagai bagian upaya penegakan hukum,” tambahnya.

Maryo Saputra Sanuddin, Kepala Desk Kampanye Sawit Watch mengatakan, moratorium, penegakan hukum, dan perbaikan tata kelola perizinan sawit sangat mendesak untuk dilakukan karena perkebunan sawit skala besar telah menyebabkan bencana lingkungan yang masif, salah satunya kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2015 lalu. Sekitar 16% titik api yang terdeteksi selama tahun 2015 berada dalam konsesi kelapa sawit dan 20% dalam konsesi perkebunan kayu untuk bubur kertas.

Berdasarkan catatan Sawit Watch pada tahun 2015, konflik di sektor perkebunan mencapai tak kurang dari 717 konflik yang meliputi konflik lahan, kemitraan dan lingkungan. Sekitar 59% dari 1.000 perusahaan kelapa sawit di seluruh Indonesia terlibat konflik dengan masyarakat terkait lahan.

BACA JUGA: Presiden Siapkan Moratorium Lahan Kelapa Sawit dan Lahan Tambang

Akibat dari konflik penyerobotan lahan adalah adanya kekerasan, tindakan kriminalisasi, penangkapan dan hukuman penjara terhadap masyarakat adat pemilik tanah yang menuntut hak dan ganti rugi seperti yang dialami oleh masyarakat adat Kampung Puragi, Metamani, Sorong Selatan, dan warga Kampung Benawa, Kokoda, Sorong Selatan yang berhadapan dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Permata Putera Mandiri (anak perusahaan PT. Austindo Nusantara Jaya).

Kecenderungan luas penguasaan lahan untuk sawit sendiri semakin meningkat. Dari tahun 2008 hingga 2013, daerah yang dialokasikan untuk perkebunan kelapa sawit di Indonesia meningkat sebesar 35%, dari 7,4 juta ha pada tahun 2008 menjadi 10 juta ha pada tahun 2013 (setara dengan peningkatan sebesar 520.000 hektar atau hampir seluas Pulau Bali per tahun). Luas cakupan wilayah perkebunan sawit di Indonesia kini mencapai hampir 15 juta hektare, naik 30% dari total luasan perkebunan sawit di tahun 2010.

“Selama ini, belum terlihat penegakan hukum yang tegas kepada korporasi. Yang terjadi justru kriminalisasi atas masyarakat adat dan lokal yang ruang hidupnya semakin terdesak akibat ekspansi perkebunan sawit,” katanya.

BACA JUGA: Kementerian LHK Segel Lahan Sawit PT ABN di Kawasan Ekosistem Leuser

Seperti diberitakan sebelumnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memberikan tenggat waktu penyelesaian peraturan terkait penundaan (moratorium) lahan kelapa sawit dan tambang pada bulan Juni 2016. Sekretaris Jendral KLHK Bambang Hendroyono mengatakan, saat ini aturan tersebut masih dalam pembahasan, termasuk juga dengan produk hukum yang akan digunakan.

Menurut Bambang, moratorium pemberian izin lahan kelapa sawit dan tambang tidak akan mengganggu pertumbuhan ekonomi Indonesia maupun kelangsungan usaha dari swasta yang mengelolanya.

“Justru moratorium ini meminta swasta agar bisa mengoptimalkan kinerjanya, khususnya di area-area milik mereka yang telah memiliki izin namun belum ditanami. Apalagi kalau lahan tersebut masih berkonflik dengan masyarakat, itu harus segera ditangani,” katanya di Jakarta pada Rabu (01/06) lalu.

Beberapa lembaga yang tergabung di dalam koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global terdiri dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Yayasan Pusaka, Epistema Institute, Perkumpulan HuMa, Serikat Petani Kelapa Sawit, Sawit Watch, Yayasan Merah Putih, Walhi Kalimantan Tengah, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) dan Greenpeace Indonesia.

Penulis: Danny Kosasih

Top