Perluasan 20 Juta Hektare Hutan Bertentangan dengan Target Penurunan Emisi

Reading time: 3 menit
Pemerintah berencana membuka 20 juta hektare hutan untuk kebutuhan pangan dan energi. Foto: Freepik
Pemerintah berencana membuka 20 juta hektare hutan untuk kebutuhan pangan dan energi. Foto: Freepik

Jakarta (Greeners) – Pemerintah berencana membuka 20 juta hektare hutan untuk kebutuhan pangan dan energi. Luas hutan tersebut hampir dua kali lipat luas Pulau Jawa. Namun, rencana ini bertentangan dengan komitmen penurunan emisi karbon dan berpotensi melepaskan emisi karbon dalam jumlah besar.

Manajer Kampanye Bioenergi Trend Asia, Amalya Reza Oktaviani, menjelaskan bahwa pembukaan hutan alam seluas 4,5 juta hektare untuk lahan energi atau pangan dapat melepaskan sekitar 2,59 miliar ton emisi karbon.

Rencana perluasan lahan sawit sebesar 20 juta hektare jauh lebih besar dari yang tercantum dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor 7 Tahun 2021. Peraturan tersebut hanya mengalokasikan 12,8 juta hektare hutan produksi konversi (HPK) untuk cadangan energi dan pangan.

Menurut Amalya, kebijakan ini mencerminkan kurangnya komitmen pemerintah terhadap reforestasi dan rehabilitasi hutan alam. Ia juga mengingatkan bahwa Kementerian Kehutanan masih memiliki pekerjaan rumah (PR) untuk menyelesaikan masalah tata batas kawasan hutan yang hingga kini belum tuntas.

BACA JUGA: Warga Jabar Minta Pemerintah Selesaikan Hak Tanah di Kawasan Hutan

“Jangan bicara soal perluasan sawit tidak akan menimbulkan deforestasi, kalau tata batas dan tata kelola kawasan hutan kita belum beres,” ungkap Amalya lewat keterangan tertulisnya, Senin (6/1).

Lebih lanjut, Amalya menyatakan bahwa kebijakan energi Indonesia yang mendorong penggunaan bioenergi turut berkontribusi pada perluasan lahan sawit. Dalam Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional (RPP KEN), Indonesia berencana menjadikan bioenergi sebagai sumber energi terbarukan utama hingga 2040.

Selain itu, dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim COP29, Indonesia berkomitmen untuk meningkatkan campuran biodiesel hingga 50% (B50). Namun, langkah ini justru bertentangan dengan tujuan transisi energi yang seharusnya mengurangi emisi karbon.

“Emisi dari pembukaan hutan belum lagi ditambah emisi dari pembakaran sawit. Baik sebagai biofuel di transportasi maupun biomassa di kelistrikan, akan memperparah krisis iklim. Di sektor energi, pemerintah perlu meninjau kembali kebijakan bioenergi, terutama dari bahan baku sawit dan kayu,” ujar Amalya.

Pembukaan Hutan Merugikan

Selain rencana pemerintah untuk membuka 20 juta hektare hutan, Presiden Prabowo Subianto juga berencana memperluas lahan sawit. Rencana ini berpotensi menambah dampak negatif seperti peningkatan emisi karbon. Hal itu akan membuat Indonesia semakin jauh dari cita-cita transisi energi yang ramah lingkungan.

Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik, mengatakan bahwa pembukaan hutan, apa pun alasannya, sangat berbahaya dan merugikan. Aksi ini bertentangan dengan komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi karbon dan berkontribusi dalam menurunkan suhu bumi, sesuai dengan Perjanjian Paris yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang No 6 Tahun 2016.

“Pembukaan lahan hutan akan melepaskan emisi karbon dan semakin memperparah krisis iklim yang sudah terjadi. Ancaman kekeringan, banjir, dan kebakaran hutan akan semakin tinggi,” kata Iqbal.

Iqbal juga mengkritik alasan pembukaan hutan untuk ketahanan pangan, energi, dan sumber air, yang menurutnya dibuat-buat. Ia menyatakan bahwa kebijakan ini lebih menguntungkan segelintir pihak dari industri kelapa sawit.

Hambat Transisi Energi

Policy Strategist CERAH, Sartika Nur Shalati juga menyoroti bahwa rencana perluasan lahan sawit sangat terkait dengan cita-cita swasembada energi Presiden Prabowo. Khususnya, melalui pengembangan biodiesel dan co-firing biomassa dari produk sawit di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).

Untuk mencapai target biodiesel 50% (B50), perluasan lahan sawit butuh dua hingga tiga kali lipat dari luas lahan sawit saat ini, yang sudah mencapai 16 juta hektare.

BACA JUGA: Pengembangan Wisata Alam Optimalkan Aset Hutan dan Taman Nasional

Lebih lanjut, perluasan lahan sawit dan pemanfaatannya sebagai bahan baku co-firing biomassa di PLTU justru akan menghambat akselerasi transisi energi. Langkah ini dapat memperpanjang pemanfaatan batu bara di PLTU yang seharusnya segera dipensiunkan.

Menurutnya, hal ini bertentangan dengan komitmen Presiden Prabowo pada agenda G20 di Brasil. Saat itu, Prabowo menyatakan rencana untuk menutup PLTU dalam 15 tahun ke depan.

“Swasembada energi memang penting, tapi jika mengorbankan hutan melalui konversi lahan menjadi kebun sawit monokultur, menjadi kurang tepat. Jangan sampai kita menyelesaikan satu masalah, tapi justru menimbulkan masalah baru yang lebih kompleks,” kata Sartika.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top