Pulau Jawa Hasilkan 1,12 Juta Ton Sampah Elektronik

Reading time: 3 menit
Saat ini setiap orang di Indonesia menghasilkan hampir 6,8 kg sampah elektronik. Foto: Shutterstock

Jakarta (Greeners) – Hingga saat ini terdapat hampir 2 juta ton sampah elektronik di Indonesia. Dari jumlah itu, Pulau Jawa berkontribusi menghasilkan 56 persennya atau sekitar 1,12 juta ton. Namun baru 17,4 persen saja sampah elektronik secara nasional yang sudah terkelola.

Dari kondisi itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memastikan akan mempercepat pengelolaan sampah elektronik dari sektor rumah tangga. Sampah elektronik punya dampak buruk bagi kesehatan dan lingkungan. Dari tahun ke tahun timbulan sampah elektronik terus meningkat.

Direktur Pengelolaan Sampah KLHK Novrizal Tahar mengakui, pengaturan limbah elektronik di Indonesia merupakan hal baru. Artinya, sambung dia selama ini sampah elektronik yang bersumber dari rumah tangga itu tidak ada peraturannya. Sehingga tak ada aturan dalam pengelolaan sampah jenis ini.

“Ada yang (sampah elektroniknya) dicampur dan dibuang dengan sampah rumah tangga ke TPA. Ada yang dibakar dan pasti akan mengeluarkan logam berat. Kalau tidak dibuang mungkin kedaluwarsa dan disimpan di rumah sehingga akan mengeluarkan radiasi,” katanya dalam diskusi bertajuk Sampah Elektronik: Peluang, Tantangan dan Nilai Ekonomi di Jakarta Pusat, Rabu (15/6).

Padahal berdasarkan riset, Indonesia menghasilkan kurang lebih 2 juta ton sampah elektronik. Dari jumlah itu hanya 17,4 persen saja yang dikelola.

Tiga Sektor Harus Bertanggung Jawab

Peraturan Pemerintah No 27 Tahun 2020 Tentang Pengelolaan Sampah Spesifik mengacu pada Undang-Undang Nomor 18 tahun 2008 Tentang Pengeloaan Sampah. Selain itu juga mengacu dengan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Mengacu amanat di dalamnya, setidaknya terdapat tiga sektor yang harus bertanggung jawab atas sampah elektronik, yaitu produsen sebagai penghasil sampah limbah bahan berbahaya beracun (B3), pengelola kawasan serta pemerintah daerah terkait.

Khusus untuk produsen harus memiliki program take back. “Dan publik pun harus tahu kita beli produk-produk yang memang produsen yang punya program take back. Kalau tidak punya, kurangi konsumsi dengan pihak yang seperti itu,” imbuh Novrizal.

Produsen, dapat bekerja sama dengan komunitas atau social entrepreneur yang bergerak di bidang pengelolaan sampah. Saat ini ada sekitar 80 social entrepreneur yang aktif dalam pengelolaan sampah.

Kedua yaitu pengelola kawasan harus memastikan pentingnya tempat pengelolaan limbah B3 di sekitar kawasan tersebut.

Terakhir yaitu pemerintah daerah yang juga memiliki tanggung jawab untuk pengumpulan sampah elektronik ini. Pemerintah daerah, sambungnya bisa berkoordinasi bersama pengelola kawasan untuk penyiapan drop box sampah elektronik di tempat-tempat strategis.

Percepat Aturan Turunan Pengelolaan Sampah Spesifik Ini

Saat ini, pemerintah juga tengah mempercepat pengelolaan sampah elektronik ini dengan memastikan aturan turunan dari PP Nomor 27 Tahun 2020 ini.

KLHK juga menyiapkan pembangunan pilot project pengelolaan sampah elektronik di 20 kota di Indonesia untuk kemudian diikuti oleh wilayah-wilayah lain. “Pertama Jakarta dan kalau itu sudah berjalan kita bisa melakukannya secara nasional pada 514 kabupaten kota di Indonesia,” imbuhnya.

PhD Candidate for Recycling Electronic Waste Aulia Qisthi menyatakan, peningkatan sampah elektronik seiring dengan banyaknya pengguna gadget di Indonesia. Menurutnya, Indonesia masuk dalam tiga besar negara di Asia selain India dan China.

Bahkan timbulan sampah elektronik di Indonesia mencapai 3.200 kilo ton pada 2040 nanti. Artinya, setiap orang berkontribusi sebanyak 10 kilogram sampah elektronik dalam satu tahun.

Setiap Orang Rata-Rata Hasilkan 6,88 Kilogram Sampah Elektronik di Indonesia

Berdasarkan data impor barang elektronik di Indonesia, angka tersebut meningkat dibanding tahun 2020. Tahun 2020 timbulan sampah elektronik mencapai 1.862 kilo ton. Setiap orang rata-rata menghasilkan 6,88 kilogram sampah elektronik.

Sementara untuk distribusi limbah elektronik terbanyak ada di Jawa 56 %, Sumatra 22 %, Sulawesi 7 %, Kalimantan 6 %, Maluku 1 % dan Papua 2 %.

Aulia menyatakan, pentingnya percepatan penanganan sampah elektronik di Indonesia. Pasalnya, penanganan sampah elektronik juga berdampak positif terhadap pengurangan CO2.

“Setiap 1 ton sampah elektronik juga bisa mengurangi 1.400 ton CO2, sehingga dapat mengurangi reduksi karbon. Potensi-potensi ini sangat menarik sehingga kita harus secepatnya melakukan integrasi pengelolaan limbah elektronik,” kata dia.

Selain itu, sampah elektronik juga bisa menghasilkan keuntungan finansial. Berdasarkan perhitungan Aulia, daur ulang dari timbulan sampah elektronik di Indonesia tahun 2020 mampu memberikan keuntungan hingga US$ 1,8 miliar.

“Pada tahun 2020 setidaknya terdapat potensi daur ulang 12,5 ton tembaga, 119 ton perak, 21 ton emas, 54 ton paladium dan 10 ton platinum. Potensi ekonomi ini mencapai US$ 1,8 miliar ,” paparnya.

Penulis : Ramadani Wahyu

Editor : Ari Rikin

Top