Tanggung Jawab Produsen Masih Kabur dalam Pengurangan Sampah

Reading time: 3 menit
Krisis sampah plastik di Indonesia belum selesai. Produsen harus serius melakukan pengurangan sampah pascakonsumsi. Foto: Greenpeace Indonesia
Krisis sampah plastik di Indonesia belum selesai. Produsen harus serius melakukan pengurangan sampah pascakonsumsi. Foto: Greenpeace Indonesia

Jakarta (Greeners) – Krisis sampah plastik di Indonesia masih menjadi persoalan lingkungan yang belum terselesaikan. Perlu peran produsen untuk turut bertanggung jawab dalam menangani sampah dari produk yang mereka hasilkan, terutama dalam menjalankan peta jalan pengurangan sampah.

Pada 2019, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menerbitkan Peraturan Menteri tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen. Regulasi ini untuk mendorong tanggung jawab produsen dalam mengurangi dampak lingkungan dari produk dan kemasan yang mereka hasilkan.

Hal tersebut sesuai dengan semangat Undang-Undang No.18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Namun, menurut Greenpeace Indonesia, enam tahun setelah regulasi terbit, implementasi peraturan pengurangan sampah masih menghadapi tantangan serius. Selain minim penegakan hukum, juga belum ada target ambisius untuk sistem guna ulang.

Komitmen produsen untuk mengurangi kemasan sekali pakai seperti saset multilayer belum menjadi prioritas. Sementara, berbagai program dengan klaim sebagai solusi–seperti daur ulang kimia–belum terbukti berjalan.

BACA JUGA: 100 Produsen Telah Menyusun Peta Jalan Pengurangan Sampah

Juru Kampanye Bebas Plastik Greenpeace Indonesia, Ibar Akbar mengatakan bahwa saat ini tidak bisa terus menambal krisis plastik dengan solusi tambal-sulam di hilir. Sebab, akar masalahnya berada di hulu, khususnya pada produksi plastik sekali pakai yang masih terus digenjot tanpa kendali.

β€œSaatnya industri mengambil tanggung jawab penuh, dan mendukung sistem guna ulang sebagai solusi nyata yang adil dan berkelanjutan,” tegas Ibar dalam keterangan tertulisnya.

Pastikan Produsen Tak Lepas Tangan

Data dari World Bank (2021) Indonesia mengungkap ada sekitar 7,8 juta ton sampah plastik setiap tahunnya. Sekitar 4,9 juta ton sampah plastik tidak tertangani dengan baik, misalnya tidak dikumpulkan, dibuang ke tempat pembuangan terbuka, atau bocor dari tempat pembuangan akhir yang tidak dikelola dengan semestinya.

Ketidakseriusan untuk mengolah sampah plastik ini juga menyebabkan sekitar 83% dari sampah plastik, yang mencemari lautan ke laut berasal dari aliran sungai. Sementara sisanya, sebesar 17%, langsung dibuang atau hanyut dari wilayah pesisir.

Untuk mengatasi masalah ini, Greenpeace Indonesia menekankan penguatan skema Extended Producer Responsibility (EPR). Skema tersebut sebagai langkah krusial untuk memastikan produsen tidak lagi lepas tangan atas sampah dari produk mereka. Produsen harus bertanggung jawab penuh sejak dari desain, distribusi, hingga pengelolaan pascakonsumsi secara transparan dan berkelanjutan.

β€œExtended Producer Responsibility bukan sekadar formalitas birokrasi. Ini soal siapa yang bertanggung jawab atas krisis plastik yang kita hadapi hari ini. Tanpa transparansi dan sanksi nyata, peta jalan pengurangan sampah hanya akan menjadi janji kosong di atas kertas,” tambahnya.

Krisis sampah plastik di Indonesia belum selesai. Produsen harus serius melakukan pengurangan sampah pascakonsumsi. Foto: Greenpeace Indonesia

Krisis sampah plastik di Indonesia belum selesai. Produsen harus serius melakukan pengurangan sampah pascakonsumsi. Foto: Greenpeace Indonesia

Penuh Tantangan Mengatur Produsen

Sementara itu, sebelumnya Greenpeace Indonesia juga melakukan audiensi ke Kementerian Lingkungan Hidup untuk mendorong kebijakan konkret dalam menangani polusi plastik. Salah satu fokus utama dalam pertemuan tersebut adalah pembahasan mengenai aturan pengurangan sampah oleh produsen.

Dalam kesempatan itu, Direktur Pengurangan Sampah dan Pengembangan Ekonomi Sirkuler KLH, Agus Rusly, secara umum menyatakan implementasi Permen LHK No. 75 tahun 2019 masih menghadapi tantangan. Sebab, sebagian produsen menganggap KLH tidak memiliki otoritas dalam mengatur industri.

BACA JUGA: Peta Jalan Pengurangan Sampah Belum Transparan

“KLH tidak hanya berfokus pada aspek ekologis, tetapi juga mempertimbangkan dampak sosial dari setiap kebijakan mereka terapkan. Sektor lingkungan juga tidak dapat berdiri sendiri. Sebab, sektor lain seperti perdagangan, industri, dan sosial harus turut terlibat agar upaya pengurangan sampah bisa berjalan efektif,” ujar Agus melansir Greenpeace Indonesia.

Dorong Solusi Guna Ulang

Di tengah tantangan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja, Greenpeace menyoroti pentingnya solusi guna ulang untuk sachet dan pouch sekali pakai. Solusi ini sebagai langkah strategis atasi krisis sampah plastik.

Berdasarkan riset Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) pada tahun 2024, apabila ada sistem guna ulang dengan standar, infrastruktur, dan kebijakan yang tepat, sistem ini berpotensi menyumbang nilai ekonomi bersih hingga Rp 1,5 triliun pada 2030.

Di sisi lain, sistem ekonomi guna ulang dapat menciptakan sebanyak 4,4 juta lapangan kerja bersih secara kumulatif di seluruh sektor ekonomi selama periode 2021–2030. Dalam hal ini 75 persen di antaranya berpotensi diisi oleh perempuan (Riset Bappenas, UNDP, Kedubes Denmark).

β€œKita punya kesempatan emas untuk mengubah arah, dari ekonomi plastik menuju ekonomi guna ulang. Inisiatif sudah ada, tinggal kemauan politik dan keberanian industri yang perlu ditingkatkan,” lanjut Ibar.

Greenpeace percaya bahwa krisis sampah plastik tidak bisa diselesaikan oleh satu pihak saja. Perlu kolaborasi nyata antara pemerintah, industri, dan masyarakat sipil untuk menghadirkan kebijakan dan solusi yang berkeadilan dan berkelanjutan.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top