Pencemaran Udara di Jakarta Sudah Berlangsung Selama 30 Tahun

Reading time: 2 menit
Jakarta masuk sebagai kota berudara tercemar ketiga di dunia. Foto: Shutterstock

Jakarta (Greeners) – Komisi Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB) menyebut, pencemaran udara di Jakarta bukanlah hal baru. Mengacu data laporan dari United Nations Environment Programme (UNEP), sejak 30 tahun lalu Jakarta masuk dalam kota dengan udara paling tercemar ketiga di dunia setelah Mexico City dan Bangkok.

Baru-baru ini, indeks kualitas udara di Jakarta paling buruk dua pekan ini. Berdasarkan situs IQAir, Jakarta bahkan menempati posisi sebagai kota dengan kualitas udara paling buruk di dunia dalam tiga hari berturut-turut (20-22 Juni 2022). Pada Jumat (24/6) kualitas udara di Jakarta menempati posisi pertama sebagai kota dengan kualitas udara terburuk di dunia dengan mencapai angka 184.

Keadaan kualitas udara Jakarta relatif tak pernah membaik. Kecuali saat DKI Jakarta gencar dalam mengimplementasikan amanat Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2005 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara.

Akan tetapi, seiring semakin masuknya pembangunan dan meningkatnya populasi kendaraan bermotor pencemaran udara kembali beranjak naik pada tahun 2009-2010. Bahkan, Puput menambahkan pada tahun 2011 mengalami kenaikan yang relatif signifikan.

“Kalau dalam dua minggu ini memang buruk. Ini sesungguhnya telah berlangsung sejak dulu. Dibandingkan data 10 tahun lalu, tidak ada perubahan yang berarti dalam perbaikan kualitas udara di Jakarta,” katanya dalam Webinar The Saboteurs Siapa Melakukan Sabotase Pencemaran Udara Jakarta? Sabtu (25/6).

Angka Polusi Lewati Ambang Batas WHO

Data hasil pemantauan kualitas udara oleh Pemda DKI Jakarta menunjukkan tingkat pencemaran yang tinggi dengan parameter dominan PM10, PM2.5, SO2 dan O3.

Misalnya, untuk parameter PM10 yang diketahui melampaui tiga kali lipat ambang batas yang WHO tetapkan. Adapun rata-rata tahunan konsentrasi PM2.5, PM10, SO2 dan O3 (2020) masing-masing 46,1 mikrogram/m3, 59,03 mikrogram/m3, 42,76 mikrogram/m3, serta 83,3 mikrogram/m3. Angka ini juga melebihi ambang batas yang WHO tetapkan.

Lelaki yang akrab disapa Puput ini tak menampik selama ini pemerintah telah melakukan berbagai kebijakan. Khususnya kebijakan untuk mengurangi emisi di sektor transportasi dan industri.

Misalnya dengan memastikan kualitas bahan bakar, penggunaan teknologi untuk industri dan kendaraan bermotor. Selain itu managemen transportasi, serta pemberian insentif dan disintensif untuk mengendalikan pencemaran udara.

Akan tetapi, sambung dia langkah tersebut terganjal pada aspek implementasinya di lapangan. Misalnya, pemerintah berkomitmen mempercepat pengurangan emisi kendaraan bermotor dengan mengadopsi penggunaan bahan bakar minyak (BBM) bersandar Euro 4.

Akan tetapi, fakta di lapangan masih ada temuan jenis BBM lama seperti premium 88, Pertalite 90, solar 48 yang Indonesia perdagangkan.

“Padahal jenis bahan bakar tersebut tidak memenuhi standar teknis yang digunakan untuk kendaraan bermotor. Jangankan untuk Euro 4, untuk Euro 2 saja tak memenuhi,” tandasnya.

Menanti Sikap Tegas Pemerintah Atasi Pencemaran Udara di Jakarta

Kebijakan pengendalian dan pengurangan emisi mengacu pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor 20 Tahun 2017 Tentang Baku Mutu Emisi Kendaraan.

Puput menyayangkan sikap pemerintah yang cenderung alih-alih memberikan early warning kepada masyarakat agar tak terimbas dari pencemaran udara ini. Namun pemerintah justru mengelak data buruknya pencemaran udara di Jakarta.

Demikian pula emisi dari penggunaan kendaraan bermotor. Pemerintah, kata Puput harus tegas menggelar razia uji emisi kendaraan bermotor. “Kita tak bisa lagi menunggu sampai kapan kesiapan razia uji emisi. Sedangkan kondisi udara sudah sangat mengkhawatirkan,” ungkapnya.

Pemerintah harus menjalankan aksi konkret, misalnya dengan menurunkan tenaga kesehatan untuk penyakit-penyakit yang berhubungan dengan pencemaran udara.

Penulis : Ramadani Wahyu

Editor : Ari Rikin

Top