Cukup Rudiyanto; Warga Pesisir Pelestari Mangrove

Reading time: 5 menit

“Bagi saya, tanaman yang bergoyang ke kiri dan kanan itu sedang berzikir. Jadi, tujuan saya menanam (mangrove) sebagai bagian dari ibadah yang mendoakan kita, menyelamatkan kita,” tutur Cukup Rudiyanto, petani tambak dari pesisir Indramayu.

Artikel ini diterbitkan pada edisi 01 Vol. 4 Tahun 2010

 

Peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2008 adalah hari istimewa bagi petani tambak tersebut. Pada tanggal 5 Juni tersebut, seraya bersetelan adat daerah dengan blangkon di kepala, dia menerima anugerah Kalpataru dari Kepala Negara RI di Istana Negara.

Figur seorang ayahlah yang menjadi pemacu bagi Cukup Rudiyanto sekeluarga. Ayahnya adalah seorang veteran RI yang menjadi Jagawana di Kabupaten Indramayu. Bagi sang ayah, hutan adalah salah satu senjata bangsa saat menghadapi penjajah. Karena itu, kita mesti bersyukur dengan menjaga hutan tetap lestari. Lalu, ayahnya pergi mencari bibit hingga ke Losari, Kabupaten Cirebon, demi melestarikan hutan mangrove di desanya,

Beberapa tahun kemudian Cukup pun sedih melihat kondisi hutan mangrove yang dulu dijaga oleh ayahnya mulai ditebangi untuk dijadikan tambak. “Semua itu terjadi pada 1980-an. Waktu itu di Indramayu sedang booming tambak, terutama udang windu. Dan pohon mangrove dianggap sebagai penghalang sehingga ditebangi,” tuturnya.

Penebangan itu selain menyisakan kegundulan pesisir pantai juga menyingkirkan habitat satwa yang berlindung dalam hutan mangrove tersebut. Padahal ketika kecil Cukup seringkali mencari telur burung yang bersarang di dalam hutan mangrove untuk dimakan. “Dulu, bisa dikatakan saya sering bermain dengan ribuan monyet ekor panjang yang ada di hutan,” kenang pria kelahiran 1976 ini.

“Saya mulai (menanam) sekitar tahun 1993. Bersama kakak, kami meneruskan wasiat almarhum ayah untuk menjaga tanaman mangrove,” kenang Cukup. Keterbatasan dana, tenaga, dan kuasa akhirnya  Cukup bersama keluaganya hanya menanam mangrove di sekitar lahan tambak milik keluarganya. Juga, di beberapa bagian pesisir desanya yang belum diakui oleh warga.

Akhirnya sejak 1999, Cukup mulai mendapatkan dukungan sebuah LSM lingkungan dari Jepang, OISCA International, untuk melakukan penghijauan mangrove. Ibarat mendapatkan durian runtuh, Cukup yang sudah giat menanam mangrove sejak SMP ini merasa girang. Sebagai seorang petani tambak, selama ini Cukup bersama keluarga hanya melakukan penanam dengan usaha swadaya sendiri.

Dengan bantuan donatur dari OISCA, Cukup mulai melakukan penanaman mangrove secara konsisten. Sebagai permulaan, dia mencoba menanam seluas 3 Ha di tambak milik tetangganya yang terkena abrasi air laut. Dari 3 Ha tersebut hanya sekitar setengah hektar yang berhasil tumbuh beberapa bulan kemudian.

Usaha mereka itu baru terlihat setelah tiga tahun penanaman. Setelah tahun ketiga Cukup bersama rekan kelompoknya baru merasa yakin untuk meningkatkan jumlah lahan yang akan ditanami oleh mangrove. “Berdasarkan pengalaman kami belajar, kalau mangrove itu susah tumbuh di tanah berpasir, ia hanya kuat tumbuh di lahan yang berlumpur,” jelasnya.

Top