Jakarta (Greeners) – Sejumlah peneliti mendesak pemerintah untuk melibatkan masyarakat dalam mengambil kebijakan transisi energi berkeadilan. Dorongan ini muncul seiring dengan timbulnya konflik akibat pengembangan proyek energi terbarukan di berbagai wilayah.
Konflik semakin mudah terjadi di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, karena adanya polarisasi dalam masyarakat. Polarisasi ini biasanya disebabkan oleh perbedaan pendapat, terutama terkait agama, kepercayaan, dan etnis.
Masalah tersebut menjadi lebih rumit karena pemerintah melaksanakan program transisi energi tanpa melibatkan masyarakat secara menyeluruh. Akibatnya, kondisi ini menciptakan tantangan baru dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan lingkungan dan transisi energi.
Menurut Policy Strategist Yayasan Indonesia Cerah, Al Ayubi, kebijakan transisi energi setidaknya harus memenuhi tiga aspek, yakni bersih, adil, dan inklusif. Proyek energi terbarukan tidak akan berkelanjutan jika mengabaikan suara masyarakat adat dan lokal. Tanpa keadilan sosial, transisi energi hanya akan menjadi alat baru bagi ketimpangan sosial.
βTak hanya itu, konflik yang terus terjadi lantaran tidak adanya pelibatan masyarakat dalam pengembangan energi terbarukan, justru akan menghambat konstruksi proyek. Hal itu baik dari aspek waktu maupun biaya, bahkan membuat proyek batal dilaksanakan. Ini justru akan membuat transisi energi Indonesia jalan di tempat,β kata Ayubi dalam keterangan tertulisnya.
BACA JUGA: Masyarakat Sipil Tagih DPR Dorong Kebijakan Transisi Energi
Polarisasi juga tidak hanya terjadi pada proyek energi fosil, melainkan juga energi terbarukan. Salah satunya proyek panas bumi di Gunung Tampomas, Sumedang, Jawa Barat. Penetapan Gunung Tampomas sebagai Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP), justru menimbulkan konflik sosial bagi masyarakat sekitar.
Dalam kasus ini, polarisasi terjadi lantaran masyarakat menemukan bukti sebaliknya dari klaim panas bumi sebagai energi bersih yang pemerintah gaungkan. βPemerintah menyebutnya energi bersih, tapi bagi masyarakat di kaki gunung yang kehilangan sumber air, sawah, dan hutan adatnya, ini tetap bentuk perampasan ruang hidup,β kata Eme, warga Desa Cilangkap, Buahdua, Sumedang.
Tanggung Dampak Proyek Panas Bumi
Tidak hanya di Sumedang. Perwakilan masyarakat dari berbagai daerah, seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Timur, Sumatra, Sulawesi Selatan, dan lain-lainnya juga bersatu menolak proyek panas bumi.
Mereka menemukan proyek ini justru menyebabkan krisis air, pencemaran lingkungan, hingga risiko kesehatan serius. Timbulnya krisis tersebut akibat kebocoran gas hidrogen sulfida (HβS). Bahkan, telah terjadi beberapa kasus keracunan dan kematian akibat paparan HβS. Ini menunjukkan bahwa energi ini tidak aman seperti yang diklaim.
βMasyarakat tiba-tiba kaget karena ada sekelompok orang datang dan melakukan eksplorasi di kampung kami, tanpa ada informasi maupun partisipasi yang melibatkan unsur masyarakat. Justru yang diajak hanya pemerintah setempat,β tutur Chelsea, Warga Toraja.
Sementara itu, Anggota Majelis Konsorsium Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS), Samsul Maarif mengatakan bahwa wacana elit dan kebijakan transisi energi lebih fokus pada pemenuhan kebutuhan energi listrik, serta transisi dari energi kotor ke energi terbarukan.
Sementara, bagi masyarakat lokal yang berpotensi terdampak, energi mencakup seluruh dimensi kehidupan. Mulai dari kebutuhan lahan pertanian, air, udara bersih, hingga harmoni sosial.
“Pendekatan holistik, utamanya pelibatan dan perlakuan masyarakat sebagai subyek transisi energi, adalah syarat mutlak jika gagasan transisi energi adalah untuk keadilan,β ungkapnya.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia