Pengabaian Pemerintah Perparah Kerusakan Pesisir Indramayu

Reading time: 3 menit
Banjir rob dan kerusakan pesisir Indramayu. Foto: Walhi Jabar
Banjir rob dan kerusakan pesisir Indramayu. Foto: Walhi Jabar

Jakarta (Greeners) – Bencana banjir rob yang menerjang wilayah pesisir Kecamatan Kandanghaur, Kabupaten Indramayu pada 29 Januari 2025, menimbulkan dampak serius bagi ribuan warga. Tim Desk Disaster Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat (Jabar) mengungkapkan bahwa pemicu tragedi ini adalah pengabaian pemerintah yang menyebabkan kehancuran ekosistem pesisir Indramayu selama puluhan tahun.

Investigasi oleh Jundi Maulana M dan Nifsy Hardiana menemukan bahwa pemerintah gagal total dalam melindungi masyarakat pesisir. Di sepanjang pantai Eretan, hanya terdapat satu alat pemecah ombak, sebuah kondisi yang mencerminkan betapa minimnya perhatian pemerintah terhadap keselamatan warga. Tanggul yang ada pun hanya berupa tanggul darurat dari batu yang mudah terkikis tanpa sistem peringatan dini yang memadai.

BACA JUGA: Imbas Banjir Rob, Ekonomi Warga Muara Gembong Terguncang

Damuri, dari Siklus Indramayu, juga mencatat adanya aktivitas pengeboran gas alam di lepas pantai Cirebon-Indramayu oleh anak perusahaan Pertamina. Hal itu dapat berkontribusi terhadap percepatan abrasi yang semakin mengancam wilayah pesisir.

“Pemerintah seolah lebih mementingkan keuntungan korporasi daripada keselamatan warganya,” kata Damuri dalam keterangan tertulisnya pada Selasa (11/2).

Banjir rob berdampak serius bagi masyarakat setempat. Bencana ini melumpuhkan seluruh sendi kehidupan masyarakat. Para nelayan kehilangan mata pencaharian karena tidak bisa melaut, sementara tambak-tambak ikan hancur menghapus sumber penghasilan petani tambak.

Perabotan rumah tangga dan alat tangkap nelayan rusak, menambah daftar panjang kerugian yang harus ditanggung warga. Lebih dari itu, warga kini harus menghadapi ancaman kesehatan akibat sanitasi yang buruk dan air rob yang tercemar.

Meski pemerintah mengklaim telah memulai program relokasi dengan membangun 93 rumah pada akhir 2024, jumlah ini terasa tidak signifikan mengingat ribuan warga yang terancam. Menurut Walhi Jabar, relokasi yang setengah hati ini menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dalam menangani krisis pada masyarakat pesisir.

Banjir rob dan kerusakan pesisir Indramayu. Foto: Walhi Jabar

Banjir rob dan kerusakan pesisir Indramayu. Foto: Walhi Jabar

Bukan Sekadar Bencana Alam

Investigasi Walhi Jabar juga mengungkap fakta mengejutkan mengenai skala kehancuran yang terjadi akibat bencana banjir rob di pesisir Indramayu. Tidak kurang dari 845 jiwa menjadi korban langsung dari kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada masyarakat. Di Desa Eretan Kulon, 135 rumah terendam dengan ketinggian air mencapai dua meter, menenggelamkan harapan warga untuk kehidupan yang aman.

Dari jumlah tersebut, sekitar 8 hingga 10 rumah rusak berat, sementara 15 hingga 20 rumah lainnya rusak ringan. Kondisi ini memaksa 104 warga mengungsi ke Kantor Desa Kertawinangun, dan satu warga mengalami luka-luka akibat bencana tersebut.

BACA JUGA: Perempuan Muara Gembong di Tengah Ancaman Banjir Rob

Selain itu, dalam kurun waktu 44 tahun terakhir, Desa Eretan telah kehilangan sekitar 10 kilometer daratannya yang tergerus laut. Menurut Damuri, angka ini bukan sekadar statistik. Ini adalah kehilangan tanah kelahiran, rumah, dan mata pencaharian bagi warga setempat.

Kisah tragis lainnya datang dari seorang warga Jepang yang datang untuk mencari makam leluhurnya di desa ini. Namun, ia harus menelan kekecewaan karena lokasi makam tersebut kini telah berada di tengah laut.

Desakan Walhi Jabar

Atas temuan fakta dari investigasi ini, Walhi Jabar menuntut pemerintah untuk segera membangun tanggul permanen berkualitas tinggi di sepanjang pesisir dan memasang setidaknya 10 alat pemecah ombak di lokasi-lokasi strategis.

Program rehabilitasi mangrove juga harus pemerintah lakukan secara masif untuk mengembalikan pertahanan alami pesisir. Evaluasi secara menyeluruh terhadap aktivitas industri di wilayah pesisir juga penting. Ini termasuk moratorium izin eksplorasi baru dan audit lingkungan terhadap operasi industri yang ada.

Pemerintah juga perlu memperluas program relokasi yang mencakup minimal 1.000 unit rumah layak huni, lengkap dengan penyediaan mata pencaharian alternatif dan jaminan akses terhadap fasilitas publik. Sistem peringatan dini modern harus dibangun, disertai dengan pelatihan kesiapsiagaan bencana dan pembentukan tim tanggap darurat lokal yang terlatih.

“Jika pemerintah tetap mengabaikan nasib masyarakat pesisir, Walhi Jabar siap mengambil langkah hukum untuk memastikan hak-hak warga terpenuhi. Sudah cukup masyarakat pesisir menjadi korban pembangunan yang tidak berkelanjutan,” tegas tim investigasi.

Walhi Jabar juga mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bersatu mengawasi proses pembangunan infrastruktur mitigasi, mendokumentasikan setiap pelanggaran dan pengabaian, serta membentuk gerakan solidaritas untuk masyarakat pesisir.

Bagi mereka, transparansi penggunaan anggaran mitigasi bencana harus menjadi prioritas untuk memastikan setiap rupiah benar benar sampai kepada yang membutuhkan. Bencana ini adalah alarm keras yang tidak bisa lagi diabaikan.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top