Sampah Plastik Akan Tertangani Lewat Plastic Credit ?

Reading time: 3 menit
Maraknya penggunaan kemasan plastik terus membuat masifnya timbulan sampah baru. Foto: Shutterstock

Jakarta (Greeners) – Alternatif baru upaya penanganan sampah plastik melalui wacana implementasi plastic credit mulai bergaung. Solusi ini hadir seiring penanganan sampah plastik yang belum tertangani secara maksimal. Peningkatan jumlah timbulan sampah plastik mengalami kenaikan signifikan yakni 6 % dari tahun 2010 hingga 2021.

Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), jumlah sampah nasional di tahun 2021 mencapai 68,5 ton. Jumlah timbulan sampah plastik mengalami kenaikan yang signifikan yakni 6 % dari tahun 2010 yaitu 11 % menjadi 17 % di tahun 2021.

Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah Limbah dan Bahan Berbahaya Beracun (B3) KLHK Rosa Vivien Ratnawati mengatakan, pemerintah telah berusaha mengatasi persoalan sampah dari hulu ke hilir.

Pada bagian hulu, selain merujuk pada kewajiban pemilahan sampah yang individu hasilkan, juga ada kewajiban produsen untuk mengurangi sampah plastik dari produk kemasan yang mereka hasilkan.

Mengacu Peraturan Menteri LHK Nomor 75 Tahun 2019 Tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen, pemerintah memerintahkan agar produsen sampah berkewajiban membatasi timbulan sampah. Selain itu juga wajib mendaur ulang sampah melalui penarikan dan memanfaatkan sampah kembali.

“Harus ada kebijakan dan upaya luar biasa untuk mengatasi persoalan ini. Bukan sebatas cara business as usual saja ,” katanya dalam Webinar bertema Plastic Credit, Gagasan Baru Solusi Pengurangan Sampah Plastik?” di Jakarta, Kamis (24/2).

Komposisi Sampah Plastik Alami Peningkatan

Sementara itu berdasarkan data KLHK, tren komposisi sampah plastik kondisi business as usual mengalami kenaikan yang signifikan. Misalnya, di tahun 2005 yang masih 10 % kemudian naik menjadi 15 % di tahun 2015. Prediksinya angka tersebut akan semakin naik hingga pada tahun 2035 menyentuh angka 60 %.

“Dikhawatirkan kalau kita tidak melakukan penanganan militan peningkatannya akan melonjak tajam,” kata Direktur Pengurangan Sampah KLHK Sinta Saptarina.

Peningkatan jumlah sampah plastik juga bersumber dari sektor rumah tangga. Hal ini seiring dengan perilaku gaya hidup serba praktis melalui peningkatan bisnis online juga berkontribusi pada peningkatan sampah plastik. Misalnya, sambung dia pemakaian kemasan, pembungkus bubble wrap dan kantong plastik saat pengemasan barang.

KLHK memastikan sangat terbuka dalam upaya melakukan berbagai terobosan penanganan sampah, khususnya sampah plastik. Salah satunya wacana plastic credit.

Plastic credit telah berkembang di dunia internasional dan secara global perusahaan-perusahaan di bidang persampahan kembangkan. Plastic credit merupakan unit yang dapat mewakili jumlah plastik yang industri kumpulkan dan berpotensi mereka daur ulang.

Industri yang tak dapat sepenuhnya mengurangi emisi plastik yang mereka hasilkan hingga nol atau mencapai kondisi plastic neutral dapat membeli plastic credit ini.

Plastic neutral, industri capai saat membeli plastic credit dengan volume yang sama dengan jejak plastik yang mereka hasilkan. Mereka mendanai proyek yang mendaur ulang volume limbah plastik yang setara dengan jejak plastik industri.

Industri wajib mengelola sampah kemasannya bisa dengan menariknya kembali dan mendaur ulangnya. Foto: Shutterstock

Waspada Sisi Negatif Plastic Credit

Associate Systemiq Eric Chocat menyatakan, industri dan pemerintah daerah perlu berkolaborasi dalam implementasi plastic credit. Berbagai risiko dan mitigasi harus jadi perhatian. Di antaranya belum adanya kebijakan pemerintah secara nasional terkait plastic credit, risiko perbedaan angka kredit tiap negara, hingga risiko dan kekhawatiran terkait pemalsuan.

Pendanaan dari plastic credit perlu perhatian serius, sebab bukan hanya pembiayaan operasional yang telah industri keluarkan.

Pakar pengelolaan sampah dan limbah dari Institut Teknologi Bandung Enri Damanhuri pesimistis terkait gagasan konsep plastic credit. Ia mengkhawatirkan justru dengan adanya sertifikat dan klaim green sekadar formalitas bagi industri untuk kemudian bisa melakukan business as usual.

“Karena mereka sudah punya punya plastic credit, malah industri bisa pasang target dua kali lipat dalam business as usual diikuti label produk sudah “green,” katanya.

Sementara itu Direktur Utama Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup Djoko Hendratto menyatakan, regulasi dan ekosistem market harus pasti dalam kebijakan ini. “Ekosistemnya perlu dibentuk termasuk di dalamnya pelaku pasar, pihak-pihak penunjang lembaga hukum, serta marketnya, apakah bursa atau over the counter,” imbuhnya.

Menurutnya konsep plastic credit mirip dengan carbon credit yang juga menerapkan model volunteer market. Ia mengingatkan kegagalan carbon credit karena yang ditandai dengan lahirnya kesepakatan baru, Konvensi Kerangka Kerja Perubajan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFCCC) harus memberi pelajaran akan implementasi plastic credit nanti.

Penulis : Ramadani Wahyu

Editor : Ari Rikin

Top