Sejarawan: Perubahan Perilaku Menjadi Kunci Penanganan Pandemi

Reading time: 3 menit
Mobil Dinas Kesehatan Rakyat
Mobil yang digunakan oleh Dinas Kesehatan Rakyat untuk menyampaikan informasi mengenai masalah kesehatan dan penyembuhan penyakit. Foto: Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)

Jakarta (Greeners) – Para sejarawan mengingatkan bahwa pandemi COVID-19 yang sedang melanda sebagian besar negara di dunia tak jauh berbeda dengan Flu Spanyol pada 1918 silam. Satu pelajaran penting yang dapat dipetik dari pandemi abad lalu tersebut adalah bahwa pemahaman serta literasi masyarakat mengenai bahaya wabah sangat penting. Sebab hal itu akan memengaruhi perubahan perilaku masyarakat sehingga upaya penanganan dinilai akan lebih mudah dilakukan.

Menurut Sejarawan Universitas Indonesia Dr. Tri Wahyuning M. Irsyam, MSi Pemerintah Hindia Belanda atau Indonesia pada saat itu juga memberikan imbauan kepada masyarakat agar mematuhi protokol kesehatan, meliputi memakai masker, tinggal di rumah, dan menjaga kebersihan. Anjuran tersebut, kata dia, layaknya yang disampaikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk mencegah penularan virus SARS-CoV2 saat ini.

Baca juga: Belasan Ekor Paus Pilot Ditemukan Terdampar di NTT

Ia menjelaskan Pemerintah Hindia Belanda menyampaikan imbauan itu melalui kampanye dengan mobil kesehatan. Hal tersebut dinilai lebih efektif dilakukan mengingat masih banyak keterbatasan di masa itu.

“Secara rutin berkeliling kota dan mengingatkan bahwa ini (flu spanyol) penyakit yang sifatnya mematikan. Jadi lebih baik kalau tidak perlu, tinggal di rumah, tetap memakai masker. Itu yang disampaikan terus dan terus dan terus,” ucap Tri di Media Center Satuan Tugas (Satgas) Penanganan COVID-19, Jakarta, Sabtu (01/08/2020).

Beda Pandangan Antara Pemerintah dan Masyarakat

Kendati imbauan kesehatan dan penanganan pandemi Flu Spanyol 1918 sudah dilakukan, hal itu tak menutup perbedaan persepsi antara pemerintah dengan masyarakat. Tri menyampaikan rata-rata masyarakat pada saat itu berkeyakinan bahwa wabah yang melanda berasal dari alam. Sedangkan pemerintah berusaha meyakinkan bahwa penyebabnya berasal dari transmisi pendatang.

“Mereka masyarakat melihat bahwa sumber penyakit ini dari alam, seperti debu, angin, dan sebagainya. Sementara pihak Pemerintah Belanda melihatnya dari luar seperti pendatang yang datang ke Indonesia atau carrier,” ucap Tri.

Sejarawan Universitas Indonesia Dr. Tri Wahyuning M. Irsyam, MSi, di Media Center Satuan Tugas (Satgas) Penanganan COVID-19, Jakarta, Sabtu (01/08/2020). Foto: Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)

Ia mengatakan perbedaan pendapat membuat penanganan penyakit justru menjadi lambat, tetapi juga memantik kepedulian para tokoh nasional yang akhirnya bergerak untuk perubahan. Salah satunya adalah dr. Cipto Mangunkusumo dengan para siswa STOVIA dan munculnya mantri-mantri kesehatan.

Selain itu tercetuslah beberapa upaya lain seperti pemanfaatan ramuan jamu tradisional untuk menangani penyakit. Kemudian pelabuhan sebagai pintu masuk Hindia Belanda harus ditutup sementara dan dibatasi pergerakannya. Beberapa rumah penyintas diberi tanda bendera kuning dengan tujuan untuk mencegah adanya masyarakat yang datang dan berpotensi tertular.

Jika melihat literasi sejarah Flu Spanyol 1918, Tri mengatakan bahwa masyarakat dan Pemerintah Indonesia pada saat itu memang belum benar-benar siap. Segala informasi mengenai pandemi yang masuk ke Hindia Belanda, kata dia, menjadi sempat tidak terlalu dihiraukan bahkan memicu perbedaan pendapat antara pemerintah dengan masyarakatnya.

Baca juga: Bali Barat Bangun Fasilitas Pengolah Sampah Berkapasitas 40 Ton

Menurut Tri literasi mengenai masa lalu menjadi penting untuk menangani masalah yang tidak jauh berbeda di masa sekarang maupun di kemudian hari. Ia mengatakan penyamaan persepsi dan pemahaman menjadi kunci agar pandemi dapat lebih mudah ditangani.

“Masalah lalu itu bukan hanya untuk masa lalu, tapi juga untuk masa sekarang dan masa yang akan datang. Jadi marilah kita melangkah dengan kearifan masa lalu,” kata Tri.

Sepaham dengan Tri, Sejarawan Publik Kresno Brahmantyo juga menganggap bahwa catatan atau rekaman kelam mengenai pagebluk hendaknya dapat dijadikan sebagai pembelajaran di masa sekarang maupun yang akan datang. Menurutnya, setiap peristiwa atau bencana dapat berulang dan dibutuhkan solusi penanganan yang sama untuk ke depannya.

“Mulailah kita membuat rekaman (data) walaupun agak telat, tapi itu bisa dilakukan supaya 10 atau 20 tahun yang akan datang kita punya data untuk menghadapi ini semua. Karena ini berulang dan kelihatannya solusinya sama juga,” ujar Kresno.

Penulis: Dewi Purningsih

Editor: Devi Anggar Oktaviani

Top