Tahun 2014, Konflik Agraria di Indonesia Meningkat

Reading time: 3 menit
Foto: greeners.co/danny Kosasih

Jakarta (Greeners) – Di penghujung tahun 2014, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) kembali melaporkan situasi agraria nasional sepanjang tahun 2014 dalam bentuk catatan akhir tahun 2014 KPA. Sekretaris Jendral KPA, Iwan Nurdin, mengungkapkan, jumlah konflik agraria yang terus meningkat dan meluas baik secara kejadian, jumlah luasan, sebaran lokasi konflik, maupun korban-korban yang berjatuhan masih menjadi wajah buruk situasi agraria nasional.

Ia menerangkan bahwa keberpihakan pemerintah, aparat keamanan, elit politik dan hukum terhadap korporasi perampas tanah telah menambah jumlah korban jiwa dan luka, serta tindakan penangkapan (kriminalisasi) terhadap petani dan pejuang agraria di sepanjang tahun 2014.

“Sepanjang 2014, KPA mencatat sedikitnya telah terjadi 472 konflik agraria di seluruh Indonesia dengan luasan mencapai 2.860.977,07 hektar. Konflik ini juga melibatkan sedikitnya 105.887 Kepala Keluarga,” jelas Iwan, Jakarta, Selasa (23/12).

Menurut Iwan, konflik agraria menjadi semakin tinggi seiring dengan meluasnya proyek Master plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang menitikberatkan pada pembangunan infrastruktur.

Menurut catatan KPA, sedikitnya telah terjadi 215 konflik agraria (45,55%) di sektor infrastruktur ini. Ekspansi perluasan perkebunan menempati posisi kedua, yaitu 185 konflik agraria (39,19%), dilanjutkan dengan konflik pada sektor kehutanan 27 konflik (5,72%), pertanian 20 konflik (4,24%), pertambangan 14 konflik (2,97%), perairan dan kelautan 4 konflik (0,85%), serta 7 konflik pada sektor lain-lain (1,48%).

“Dibandingkan dengan tahun 2013, maka tahun 2014 ini terjadi peningkatan jumlah konflik sebanyak 103 konflik atau meningkat 27,9%,” tambahnya.

Atas dasar catatan tersebut, KPA memberikan rekomendasi utama penyelesaian masalah agraria ini untuk pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Rekomendasi tersebut, antara lain pembentukan badan ad hoc untuk penyelesaian konflik agraria, pemberian penghormatan, pengakuan dan pemulihan hak-hak korban kriminalisasi dan kekerasan konflik agraria, serta melaksanakan reforma agraria yang tidak dijalankan oleh pemerintahan sebelumnya.

“Dibentuknya Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Negara (BPN) oleh Joko Widodo-Jusuf Kalla sesuai dengan tuntutan kelompok gerakan reforma agraria dan harus bisa dijalankan. Kementerian ini juga harus bisa menjawab masalah agraria yang muncul akibat keterbatasan kewenangan dan kelembagaan yang disandang oleh BPN selama ini,” tuturnya.

Dianto Bachriadi, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pun mengungkapkan kalau pelanggaran HAM yang terjadi pada setiap konflik agraria hampir tidak pernah mendapatkan perhatian oleh pemerintah. Ia meyatakan bahwa Komnas HAM telah berulang kali memberikan rekomendasi kepada pemerintah, namun sayangnya rekomendasi tersebut tidak digubris.

Eva Bande. Foto: greeners.co/Danny Kosasih

Eva Bande. Foto: greeners.co/Danny Kosasih

Eva Bande, aktivis yang aktif memperjuangkan hak petani, HAM, dan demokrasi sejak 1998 serta baru saja mendapatkan grasi dari Presiden Joko Widodo, menceritakan bahwa perjuangan para petani di daerah sudah cukup sulit karena ada bekingan dari oknum militer yang sangat kuat. Ia mengatakan bahwa grasi yang diberikan oleh Presiden hanyalah awal untuk melanjutkan perjuangan agraria melawan para kapitalis perambah tanah petani.

“Satgas Konflik Agraria ini harus superbody, harus kuat dan bisa menyentuh lini manapun. Masih banyak pejuang agraria yang juga harus dibebaskan karena kriminalisasi ini,” tuturnya.

Perempuan bernama lengkap Eva Susanti Hanafi Bande tersebut merupakan aktivis asal Palu, Sulawesi Tengah yang aktif memperjuangkan hak petani, HAM, dan demokrasi sejak 1998. Eva divonis bersalah karena tuduhan menghasut para petani pengunjuk rasa dan juga pembakaran aset perusahaan milik PT KLS, di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah.

Eva sudah cukup lama mendekam di dalam penjara karena Mahkamah Agung (MA) menolak Kasasi yang diajukannya. MA melalui putusan No.1573/K/Pid/2011, 2 April 2013, menguatkan putusan Pengadilan Negeri Luwuk No.178/PID.B/2010/PN.Lwk, 12 November 2010, tuduhan Pasal 160 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP, termasuk penghasutan.

Pada peringatan Hari Ibu 22 Desember 2014, Eva mendapatkan pemberian grasi dari Presiden Joko Widodo yang akhirnya membuat Eva bisa kembali berkumpul bersama keluarganya dan melanjutkan perjuangannya dalam membela hak-hak agraria petani yang tergusur oleh pembangunan.

(G09)

Top