Tata Kelola Industri Kelapa Sawit Belum Terintegrasi

Reading time: 2 menit
tata kelola
Foto: greeners.co/Danny Kosasih

Jakarta (Greeners) – Banyak pihak menilai bahwa komoditas kelapa sawit merupakan salah satu dari komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia. Hanya saja, dalam pengelolaanya masih banyak menimbulkan masalah seperti lemahnya mekanisme perizinan, pengawasan, dan pengendalian hingga membuat sektor ini rawan akan korupsi.

Pengamat hukum Hifdzil Alim saat ditemui usai menggelar konferensi pers bertema “Review Dua Tahun Kinerja Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit” mengatakan, dalam kajian tahun 2016 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan bahwa hingga saat ini masih belum ada desain tata kelola usaha perkebunan dan industri kelapa sawit yang terintegrasi dari hulu ke hilir.

Kondisi seperti ini, katanya, jelas tidak memenuhi prinsip keberlanjutan pembangunan yang akhirnya akan menimbulkan kerawanan terhadap persoalan tata kelola usaha perkebunan dan industri kelapa sawit dan berpotensi membuka peluang praktik tindak pidana korupsi.

BACA JUGA: RUU Perkelapasawitan Dikhawatirkan Tabrak UU Lingkungan

Menurut Hifdzil, dari sisi hulu, sistem pengendalian dalam perizinan perkebunan kelapa sawit masih belum akuntabel untuk memastikan kepatuhan pelaku usaha. Hal ini ditandai dengan tidak adanya mekanisme perencanaan perizinan berbasis tata ruang. Integrasi perizinan dalam skema satu peta pun masih belum tersedia.

“Sedangkan di hilirnya, pengendalian pungutan ekspor kelapa sawit masih belum efektif karena sistem verifikasi belum berjalan baik. Penggunaan dana kelapa sawit pada Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) habis hanya untuk subsidi biodiesel,” terangnya kepada Greeners, Jakarta, Kamis (15/06).

Padahal, sejak didirikan pada tahun 2015, BPDP-KS mengemban tugas untuk mengelola dana perkebunan kelapa sawit dan menggunakan dana tersebut untuk penanaman kembali; peningkatan sumber daya manusia, advokasi, dan riset; penelitian dan pengembangan perkebunan; promosi perkebunan; peremajaan perkebunan; serta membangun sarana dan prasarana perkebunan.

“Namun dalam praktiknya, mayoritas dana BPDP itu hanya digunakan untuk subsidi biodiesel saja,” lanjutnya.

BACA JUGA: Pemerintah Diminta Segera Terbitkan Aturan Moratorium Sawit

Koordinator Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto mengatakan kontribusi BPDP-KS kepada riset dan pengembangan industri kelapa sawit terutama pada pengembangan kapasitas petani sawit sangat sedikit dibandingkan dengan subsidi bahan bakar nabati atau biodiesel kepada produsen biodiesel.

Pada tahun 2016 saja, tegasnya, BPDP-KS menghabiskan Rp10.6 trilliun hanya untuk memberikan subsidi biodiesel. Dana tersebut setara dengan 91% dari total dana yang terkumpul oleh BPDP-KS di tahun yang sama. Padahal sesuai peraturan pemerintah, subsidi biodiesel bukan merupakan tujuan dan tugas utama BPDP-KS.

Menurut Mansuetus, PP No.79/2014 memang mengamanatkan presentase pemanfaatan energi terbarukan dalam bauran energi nasional minimal sebesar 23% pada 2025 dan menjadi 31% di 2050, tetapi hal ini tidak berarti pendanaan subsidi biodiesel harus datang semuanya dari BPDP-KS.

Ia berpendapat bahwa peran BPDP-KS perlu dikembalikan untuk pengembangan sawit berkelanjutan dengan melakukan perencanaan dan pemantauan alokasi dana sawit melalui lembaga perantara atau melibatkan asosiasi/serikat, pemerintah pusat/daerah, akademisi dan lembaga swadaya masyarakat (LSM).

“Selanjutnya dana sawit perlu diaudit setiap tahun oleh akuntan publik dan dilaporkan ke masyarakat secara luas lewat media massa. Kerja sama antara BPDP-KS dengan KPK juga perlu dilakukan untuk pencegahan korupsi dana sawit dan perbaikan tata kelola perkebunan dan industri sawit,” katanya.

Penulis: Danny Kosasih

Top