Siti Maimunah, Antara Aktivis dan Juru Catat

Reading time: 3 menit
Siti Maimunah. Foto: Ist.

Siti Maimunah. Foto: Ist.

Belajar Menulis

Bagi Mai, menjadi aktivis haruslah mengerti duduk permasalahan dengan sejelas-jelasnya. Mempelajari dokumen-dokumen formal yang terkait dengan advokasi sama pentingnya dengan mengumpulkan berbagai data dan fakta yang terjadi di lapangan.

“Untuk mengoreksi dokumen-dokumen formal itu, tentu kamu harus menghadapi cerita-cerita masyarakat, apa yang mereka alami dan sebagainya,” katanya.

Mai mengakui bahwa awalnya ia berinteraksi dengan masyarakat hanya sebatas karena tuntutan pekerjaan. Namun, lambat laun ia membuka diri untuk lebih dari sekadar berinteraksi, ia berteman dengan masyarakat.

Sudut pandang yang berbeda terbentuk dari pertemanannya dengan masyarakat. Ia pun mendapatkan banyak hal baru saat melakukan advokasi dengan pola ini.

“Saat kamu datang ke sana (masyarakat), selalu ada yang baru karena kamu melewatkan sekian waktu tidak bersama mereka. Jadi selalu ada yang baru dan baru,” ucap perempuan yang gemar memasak ini.

Salah satu hal yang ia dapatkan dari masyarakat adalah keterampilan menenun kain. Keterampilan ini ia pelajari dari masyarakat Mollo, Nusa Tenggara Timur. Bagi Mai, budaya dan cara masyarakat Mollo memandang alam memiliki daya tarik tersendiri. Ia pun mengabadikan Mollo dalam sebuah buku bertajuk “Mollo, Pembangunan dan Perubahan Iklim”.

“Mollo itu sesuatu hal yang lain. Buat gue, Mollo itu memudahkan gue memahami antara manusia dan alam,” tandasnya.

Buku itu tercipta dari catatan pribadi Mai ketika berkunjung ke Mollo dalam rentang waktu sepuluh tahun terakhir. Oleh karenanya, ia pun menyebut dirinya ‘juru catat’ karena buku pertamanya merupakan kumpulan dari kejadian yang ia catat selama di Mollo.

Gue lebih memposisikan diri sebagai juru catat ketimbang penulis,” komentar May mengenai buku yang ditulisnya.

Kebiasaan mencatat ketika sedang melakukan advokasi telah diterapkan Mai selama bertahun-tahun. Kegiatan menulis ini ia lakukan beberapa tahun setelah dirinya menjadi aktivis tambang. Kini, beberapa tahun belakangan, tulisannya pun kerap dimuat di beberapa media Tanah Air.

Menurut Mai, aktivis juga membutuhkan keterampilan menulis. Ada satu kritik yang melecut Mai hingga ia memutuskan untuk belajar melakukan advokasi melalui tulisan. Ia bahkan menghabiskan waktu selama tiga bulan untuk kursus menulis.

“Waktu itu ada kritik dari kawan, ‘kamu boleh jadi pengkampanye terkenal yang didengar banyak orang, tapi setelah itu kamu lenyap tanpa jejak’,” katanya mengenang.

Sosok_Siti_Maemunah_Aktivis_Tambang_yang_Rajin_Mencatat_03

Penulis: TW/G37

Top