Mobil Bertenaga Matahari Dari Siswa di Jalur Gaza

Reading time: < 1 menit
mobil bertenaga matahari
Foto: Al Azhar University Gaza/inhabitat.com

Jalur Gaza di Palestina sudah lama menghadapi kelangkaan bahan bakar dan listrik sehingga pemadaman listrik dan sulitnya transportasi umum sudah menjadi umum. Permasalahan ini yang memanggil dua orang siswa disana, Jamal Al Miqaty dan Khalid Al Bardawil, keduanya mahasiswa teknik dari Universitas Al Azhar Gaza dan terpanggil untuk menyelesaikan permasalahan tersebut dengan menciptakan sebuah mobil bertenaga surya.

Kedua mahasiswa berusia 23 tahun tersebut merancang purwarupa mobil tersebut untuk proyek akhir mereka. Menurut Khalid, mereka berusaha bergantung pada sumber energi yang selama ini ada, terbarukan dan bersih yaitu energi matahari.

Namun, menciptakan sebuah mobil bertenaga surya di Jalur Gaza terbukti lebih sulit dibandingkan tempat-tempat lain di dunia. Tidak hanya para siswa ini harus bekerja dalam kondisi minim energi, namun motor penggerak yang dibutuhkan juga tidak tersedia di sana. Lebih buruk lagi, tidak ada seorang pun di sana yang tahu bagaimana cara membuat motor penggeraknya. Akhirnya mereka harus menggunakan motor penggerak dengan jenis yang berbeda untuk mobil tersebut.

Dosen di universitas tersebut, Mazen Abu Amer berharap bahwa mobil bertenaga surya ini bisa mendorong penduduk Gaza untuk lebih melirik tenaga surya sebagai sumber energi untuk kehidupan sehari-hari di tempat tersebut.

“Dengan membangun kendaraan ini, kami harap bisa mendorong warga Gaza untuk lebih memahami dan membudayakan pemakaian energi matahari. Kami telah mengerjakan proyek ini dan ini adalah yang pertama di Jalur Gaza, sebuah proyek yang didesain dari A sampai Z dengan menggunakan tenaga matahari,” ujar Mazen seperti dilansir dari situs inhabitat.

Menurut pihak universitas, siswa disana juga berharap untuk menemukan cara agar bisa membuat mobil-mobil listrik yang sudah ada agar bisa dijalankan dengan menggunakan tenaga surya. Mobil ini diharapkan menjadi solusi bagi mereka yang mengalami kekurangan sumber energi di komunitasnya. Kantor PBB mengatakan bahwa dari 470 megawatt listrik yang dibutuhkan oleh wilayah tersebut, realisasinya bahkan tidak mencapai setengahnya.

Penulis: NW/G15

Top