Cuaca Ekstrem, Korsel Banjir dan Gelombang Panas Hantam Eropa

Reading time: 2 menit
Banjir dashyat landa Korea Selatan. Foto: Shutterstock

Jakarta (Greeners) – Anomali iklim terus terjadi. Benua Asia maupun Eropa merasakan dampaknya secara bersamaan meski berbeda fenomena. Bencana terjadi bahkan cenderung lebih ekstrem.

Sepekan lalu, banjir dahsyat melanda Korea Selatan. Sementara itu, belahan dunia lainnya yakni kawasan Eropa dilanda gelombang panas. Italia adalah salah satu negara yang suhunya mencapai 40-45 derajat Celcius. Fenomena tersebut juga menyebar ke negara-negara lain di Eropa selatan dan timur, termasuk Prancis, Spanyol, Polandia, dan Yunani.

Sebelumnya, gelombang panas melanda beberapa kota di Asia pada April 2023 lalu. Kota Kumarkhali, Kusthia, Bangladesh bersuhu 51,2 derajat Celcius, Kota Chauk, Myanmar bersuhu 45,5 derajat Celcius. Selanjutnya, Kota Bundi, India bersuhu 45,2 derajat Celcius. Kondisi panas ekstrem itu pun menyebabkan korban jiwa.

Pemerhati Lingkungan Universitas Indonesia Mahawan Karuniasa mengungkapkan, peristiwa yang Korea Selatan dan beberapa negara Eropa alami merupakan bukti nyata adanya perubahan iklim.

“Jadi ini memang bukti nyata dari perubahan iklim. Dampak perubahan iklim itu antara lain cuaca yang ekstrem. Oleh karena itu pada saat kering dia ekstrem, pada saat basah dia juga esktrem,” kata Mahawan kepada Greeners, Jumat, (21/7).

Efek perubahan iklim, seperti banjir bandang dan kenaikan suhu, terkait erat dengan faktor lokal yang mendorong peristiwa di wilayah tersebut. Misalnya, selain perubahan iklim, kenaikan suhu di Eropa disebabkan juga oleh El Nino dan antisiklon.

Sedangkan di Korea Selatan, hujan yang disebabkan monsun, dikombinasikan dengan efek perubahan iklim, menyebabkan cuaca yang lebih ekstrem. Oleh karena itu, faktor alam di berbagai daerah juga dipengaruhi oleh perubahan iklim ini telah memperparah terjadinya bencana alam.

Gas Rumah Kaca Penyebab Utama

Pemicu utama perubahan iklim di beberapa negara sebagian besar masih berasal dari gas rumah kaca (GRK). Menurut Mahawan, penggunaan bahan bakar fosil masih menjadi penyumbang utama untuk perubahan iklim.

“Secara global pun lebih dari 60 persen itu faktor utamanya adalah penggunaan fosil atau emisi dari fosil. Jadi di situ emisi terjadinya perubahan iklim,” tambah Mahawan.

Secara historis, sumber emisi utama di Indonesia sebelum tahun 2020 tercatat masih berupa penebangan hutan dan penggunaan lahan. Hal inilah yang mengurangi biomassa dan vegetasi sehingga lahan menjadi terbuka. Namun dari tahun 2020 hingga 2030, sumber emisi utama Indonesia telah beralih dan menjadi serupa seperti negara lain yakni bersumber dari bahan bakar fosil.

Sejumlah negara di Asia Selatan pernah pula dilanda gelombang panas. Foto: Shutterstock

Indonesia Perlu Waspada

Dampak peristiwa perubahan iklim di Korea Selatan dan banyak negara Eropa mengingatkan Indonesia untuk tetap waspada. Terutama pada tiga jenis bencana (banjir, tanah longsor, dan angin ekstrem) yang berlipat ganda dalam dua dekade terakhir.

Pembangunan infrastruktur yang tangguh bencana jadi kunci di wilayah rawan bencana. Prediksi terjadinya El Nino juga menjadi sorotan. Sebab, fenomena ini akan menimbulkan banyak risiko yang perlu kita antisipasi.

Khususnya, kebakaran hutan dan lahan serta kekeringan yang mengancam ketahanan pangan. Seluruh sektor harus segera mengambil langkah serius untuk mengurangi risiko yang akan El Nino timbulkan.

Penulis : Dini Jembar Wardani

Editor : Ari Rikin

Top