LIPI Tawarkan Teknologi Biorefeneri untuk Alternatif Bahan Bakar Fosil

Reading time: 2 menit
biorefineri
5th International Symposium on Innovative Bioproduction Indonesia (ISIBio 2018) di IPB International Convention Center, Bogor, Rabu (10/10/2018). Foto: greeners.co/Dewi Purningsih

Bogor (Greeners) – Pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan kebijakan optimalisasi penggunaan biofuel untuk sarana transportasi yang mewajibkan penggunaan bahan bakar minyak jenis solar dicampur 20 persen komponen biofuel berbahan dasar minyak nabati (B20). Kebijakan ini membutuhkan pasokan biofuel yang stabil. Untuk itu, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bekerjasama dengan Japan International Cooperation Agency (JICA) telah mengembangkan teknologi biorefineri berbasis biomasa non-pati untuk menggantikan bahan bakar fosil.

Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Hayati LIPI Enny Sudarmonowati mengatakan, pengembangan teknologi biorefineri untuk mengubah biomasa menjadi biofuel dan produk kimia lainnya menuntut adanya perhatian pada tiga komponen penting. Pertama, pengembangan teknologi pretreatment biomasa untuk menghilangkan bagian yang tidak diperlukan. Kedua, pengembangan teknologi produksi enzim sebagai komponen katalisator (biokatalis). Sedangkan komponen ketiga adalah teknologi fermentasi dan reaksi terpadu.

“Dari ketiga komponen tersebut, sampai saat ini enzim yang diperlukan masih merupakan produk impor sehingga berpengaruh pada biaya produksi. Jika komponen tadi dapat dipadukan dengan komposisi sumber daya lokal, maka proses produksi akan berjalan lebih efisien sehingga menurunkan biaya produksi. Terlebih lagi saat ini pemerintah telah mengeluarkan kebijakan B20 yang mendukung sektor energi alternatif,” ujar Enny di acara 5th International Symposium on Innovative Bioproduction Indonesia (ISIBio 2018) di IPB International Convention Center, Bogor, Rabu (10/10/2018).

BACA JUGA: Inpres Moratorium Perkebunan Sawit Dorong Penyerapan CPO 

Enny mengungkapkan bahwa dukungan pemerintah untuk biorefineri ini sangat penting, karena jika produksinya sudah ada, maka kebutuhan di industri juga harus diseimbangkan. Dirinya meminta dukungan pemerintah bisa lewat kebijakan untuk para industri dan terutama sosialisasi kepada masyarakat untuk memakai bahan bakar biomassa ini.

“Saat ini kami mencoba menyiapkan suplai untuk biomassa ini tetapi kalau dari industri atau permintaannya tidak ada, pasti akan terjadi ketidakseimbangan dan akan berdampak pada harga yang mahal. Penyadaran kepada masyarakat terkait pengunaan biomassa ini juga diperlukan, bahwa kita mau murah terus tapi lama-lama lingkungan kita rusak dan tercemar dibandingkan dengan kita mau mengeluarkan uang lebih banyak dan lingkungan berkelanjutan. Kalau large scale harga pasti lebih turun,” kata Enny.

Sesuai dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2017 tentang Organisasi dan Tata Kerja Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi seharusnya pemerintah bisa memaksa industri dan masyarakat untuk bisa memakai bahan bakar biomassa ini. Menurut Enny, teknologi pemanfaatan biomasa non-pati tersebut memiliki keunggulan nilai efisiensi ekonomi.

BACA JUGA: Tanaman Sorgum Berpeluang Dijadikan Energi Alternatif Biomassa

Sementara itu, Peneliti Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI sekaligus Manajer Proyek Biorefineri, Yopi, menjelaskan, untuk mewujudkan produksi energi alternatif dari biomasa yang lebih murah dan efisien, peneliti LIPI telah bekerjasama dalam konsorsium melaksanakan riset biorefineri terpadu.

“Konsorsium ini terdiri dari LIPI yakni Pusat Penelitian Bioteknologi, Pusat Penelitian Biologi, Pusat Penelitian Biomaterial, dan Pusat Penelitian Kimia dengan dukungan dari program JST-JICA SATREPS Project,” kata Yopi.

Saat ini salah satu fokus riset yang sedang dikerjakan adalah pengembangan biorefineri terpadu dengan dasar pemanfaatan biomassa dari industri kelapa sawit dan tebu untuk produksi bioetanol dan bioplastik dengan menggunakan mikroba lokal. Yopi menungkapkan, melalui hasil riset terpadu konsorsium ini Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI mendapatkan sertifikat sebagai Pusat Unggulan Iptek Biorefineri Terpadu dari Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi.

“Kami berharap teknologi biorefineri terus dikembangkan melalui jalinan kerja sama riset yang lebih luas. Selain itu, kami berharap mampu meningkatkan kerja sama dan berbagi pengetahuan terkait bidang bioproses biorefineri antara sesama peneliti Indonesia maupun peneliti luar negeri serta sektor industri,” pungkas Yopi.

Penulis: Dewi Purningsih

Top