Walhi Menolak Penggabungan Kementrian Kehutanan dan Lingkungan Hidup

Reading time: 2 menit
Ilustrasi: Ist.

Jakarta (Greeners) – Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Taufik Kurniawan, membeberkan postur kementerian yang dirancang oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Rabu (22/10/2014) kemarin. Postur kementerian ini diketahui dari surat yang diberikan Jokowi kepada pimpinan DPR menyangkut adanya perubahan nomenklatur kementerian rancangannya.

Dalam perubahan tersebut tertulis bahwa Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup dilebur menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Mengenai rancangan ini, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menganggap perubahan tersebut bukanlah hal yang positif.

Dalam pertemuan antara Walhi dengan Jokowi (yang saat itu masih menjadi calon presiden) pada 12 Mei 2014, Walhi meminta dalam periode pemerintahan saat ini diperlukan penguatan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dengan menjadikan kementerian portofolio (kementrian yang mempunyai organisasi hirarkis yang memiliki tugas dan wewenang di bidang tertentu) melalui tata ruang, konservasi dan pengelolaan kawasan khusus, seperti pengelolaan daerah aliran sungai, menjadi bagian dari kewenangan KLH yang tentunya diperkuat dengan sistem peradilan lingkungan hidup.

“Lalu, untuk Kementrian Kehutanan difokuskan pada tata produksi kehutanan, misalnya logging, hutan tanaman industri, perhutanan sosial/hutan kemasyarakatan dan hal – hal yang berkaitan dengan tenurial kepada Kementrian Agraria,” jelas Direktur Eksekutif Walhi, Abetnego Tarigan kepada Greeners saat dihubungi melalui telepon, Jakarta, Kamis (23/10).

Foto: Walhi

Salah satu berkas yang berisi daftar Pengubahan Kementrian tertanggal 21 Oktober 2014. Foto: Walhi

Abetnego menilai penumpukan wewenang di satu kementrian yang menggabungkan eksploitasi dan konservasi atau perlindungan tidak akan menjamin keseimbangan dalam pengambilan keputusan yang ada di tengah kuatnya paradigma eksploitasi di negara ini. Dimana paradigma ini, lanjutnya, telah dipengaruhi oleh kuatnya pandangan bahwa konservasi atau perlindungan sebagai sebuah biaya, sementara eksploitasi sebagai bentuk penerimaan keuangan negara.

Selain itu, tambahnya, memberikan nomenklatur Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan akan semakin mempersempit cara pandang dan tindakan kita bahwa lingkungan hidup di Indonesia dibatasi pada hal-hal yang berkaitan dengan kehutanan.

Menurut Abetnego, penggabungan ini juga akan menghilangkan KLH secara penuh apabila dikaitkan dengan perangkat hukumnya seperti penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 71 tentang kewenangan KLH menentukan kawasan budidaya pada kawasan gambut yang serupa dengan peraturan yang dikeluarkan oleh kemenhut melalui UU Nomor 41.

“Ini jelas bahwa fungsi kendali dan eksekusi Kementrian Lingkungan Hidup akan semakin samar karena tercampur dengan kewenangan pemberian izin. Kalau ditarik ke UU Nomor 32 tentang sanksi terhadap pemberi izin, tidak akan ada pihak yang mau mengeksekusi kesalahannya sendiri,” tegasnya.

Lebih lanjut Abetnego pun menduga bahwa semangat dan komitmen Presiden untuk memperkuat institusi lingkungan hidup di pemerintahannya telah gagal memahami esensi penguatan Lingkungan Hidup tersebut dan malah terjebak pada jumlah kementrian yang sempat dijanjikan menjadi kabinet yang ramping. Sehingga, apabila tidak digabungkan akan memiliki jumlah kementrian yang lebih besar daripada kementrian era presiden SBY.

Abetnego kembali mempertegas bahwa mempertahankan KLH dan memperkuatnya merupakan hal yang harus dilakukan oleh Presiden untuk menjamin adanya kementrian sebagai pengendali pembangunan yang berkaitan untuk memastikan terselenggaranya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia.

“Kami mendesak DPR agar membatalkan dan menolak rencana penggabungan Kementerian yang akan dilakukan oleh Presiden Jokowi tersebut,” pungkasnya.

Untuk selanjutnya, DPR harus segera memberikan pertimbangan terkait rencana pengubahan tersebut dalam kurun waktu tujuh hari sebagaimana diatur pada Pasal 17 UU Nomor 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara. Namun, bila dalam kurun waktu tersebut tidak memberikan balasan maka DPR dianggap telah memberikan pertimbangannya.

(G09)

Top