Jika Suhu Naik 4 Derajat Celcius di 2100, Malaria dan DBD Bakal Merebak

Reading time: 2 menit
Penyakit karena vektor nyamuk seperti DBD akan meningkat di tahun 2100 jika suhu naik 4 derajat Celcius. Foto: Shutterstock

Jakarta (Greeners) – Apabila tidak ada aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, skenario terburuk tahun 2100 suhu bakal meningkat 4 derajat Celcius. Jika hal itu terjadi penularan penyakit karena vektor nyamuk seperti malaria dan demam berdarah dengue (DBD) bakal meningkat.

Peneliti Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Panji Wibawa Dewantara menyebut, kondisi itu karena dampak buruk perubahan iklim.

“Kita akan mendapatkan risiko yang jauh lebih tinggi terhadap penularan penyakit. Karena pada peningkatan 4 derajat Celcius ini akan menentukan sebaran atau kelimpahan dan penularan penyakit dari vektor nyamuk seperti malaria dan demam berdarah,” katanya dalam Webinar Dampak Perubahan Iklim terhadap Penyakit dan Kesehatan, Rabu (22/6).

Hal itu mengacu pada skenario Shared Socioeconomic Pathways (SSPs). Peningkatan suhu bumi dapat terjadi dengan rentang 2,4 derajat Celcius hingga 6,4 derajat Celcius.

Kondisi ini mempengaruhi vektor, yaitu nyamuk dan patogen yang menentukan sebaran, kelimpahan dan penularan penyakit. Alhasil, beragam penyakit seperti malaria, DBD, chikungunya, hingga filariasis dapat semakin merebak.

Dampak perubahan iklim di antaranya dapat memengaruhi peningkatan suhu udara, curah hujan, muka air laut, peningkatan Karbon dioksida di atmosfer.

Antisipasi Peningkatan Suhu

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memproyeksikan curah hujan turun 20-25 persen pada Juli hingga September di Jawa, Bali, Sumatera Selatan, Sulawesi Kalimantan dan Maluku.
Sementara itu di daerah Utara Sumatera Utara, Kalimantan, Sulawesi Utara dan Papua justru meningkat 10-25 persen.

Sementara suhu tahunan rata-rata meningkat 0,8 hingga 1 derajat Celcius pada tahun 2020-2050 dibanding tahun 1961 hingga 1990. Suhu tersebut mereka proyeksikan meningkat 2-3 derajat Celcius di Jawa dan Bali. Peningkatan tertinggi terjadi di Sumatera 4 derajat Celcius.

Tak berhenti di situ, Panji juga menekankan perilaku manusia, utamanya terkait dengan pembukaan lahan atau habitat alam yang berdampak buruk pada ekologi.

“Pembukaan habitat alami itu akan meningkatkan eksposur kontak antara manusia dengan lingkungan. Sehingga ada potongan siklus ekologi yang mempercepat kontak antara virus yang dibawa oleh vektor terhadap manusia. Itu menyebabkan risiko tular vektor meningkat,” paparnya.

Oleh karena itu, ia mendorong pentingnya untuk memperkuat kapasitas diagnosis dan surveilans penyakit. Termasuk di dalamnya pencatatan data epidemiologi dan tools untuk mendeteksi, merespon dan mencegah penyakit.

Tingkatkan Riset Penyakit Dari Vektor Nyamuk Penyebab DBD dan Malaria

Dalam bidang riset, sambungnya harus memperkuat riset dampak perubahan iklim terhadap kesehatan dari daya tular vektor.

“Misalnya, pemanfaatan big data iklim, vektor, lingkungan, sosial dan berbagai sumber (data, satelit, survei). Hal ini untuk menghasilkan evidence dan inovasi early warning system health risk personal apps,” imbuhnya.

Kepala Organisasi Riset Kesehatan BRIN Indi Dharmayanti menyebut, perubahan iklim berdampak pada transmisi penyakit infeksius melalui human pathogen, human vektor dan human host.

“Beberapa patogen, terutama memengaruhi secara langsung termasuk memengaruhi tingkat survival, reproduksi dan life cycle patogen. Secara tidak langsung dapat memengaruhi habitat lingkungan atau kompetisi dari patogen,” katanya.

Ia menekankan pentingnya kolaborasi riset lintas disiplin dan lintas sektor dengan konsep one health-planetary health.

Penulis : Ramadani Wahyu

Editor : Ari Rikin

Top