Jakarta (Greeners) – Studi Pantau Gambut dan Kaoem Telapak mengungkapkan ancaman serius terhadap ekosistem gambut di Indonesia. Masih adanya tata kelola yang buruk, ketidakpatuhan perusahaan, dan kebakaran berulang menandakan ketidakseriusan pemerintah dalam melindungi lahan gambut dan menegakkan hukum terkait.
Sejarah kerusakan lahan gambut di Indonesia menunjukkan betapa rentannya ekosistem ini terhadap aktivitas manusia. Pembukaan lahan secara intensif dan luas untuk industri, seperti Hutan Tanaman Industri (HTI), serta permasalahan tumpang tindih lahan dengan perkebunan dan program strategis nasional seperti Food Estate, turut memperburuk kondisi ini. Saat ini, sekitar 9,5 juta hektar ekosistem gambut berada di bawah penguasaan izin perkebunan kelapa sawit, logging, dan HTI.
Manager Advokasi dan Kampanye Pantau Gambut, Wahyu Perdana menyebutkan bahwa gambut merupakan ekosistem unik dengan keanekaragaman hayati yang luar biasa. Selain berperan penting dalam mitigasi perubahan iklim global, lahan gambut juga mampu menyimpan hingga 30% dari total cadangan karbon tanah dunia.
βIni menjadikannya salah satu penyerap karbon alami yang paling signifikan, juga penopang kehidupan masyarakat adat dan komunitas lokal. Terutama bagi mereka yang menggantungkan hidupnya pada sumber daya alam di sekitar lahan gambut,β ucap Wahyu dalam keterangan tertulisnya.
Temuan studi Pantau Gambut dan Kaoem Telapak juga menunjukkan buruknya tata kelola ekosistem gambut di Kalimantan Tengah. Studi pada tiga konsesi di sana mencatat kebakaran berulang di area konsesi, konflik masyarakat, serta tumpang tindih lahan dengan area PSN Food Estate. Semua temuan ini mengindikasikan kurangnya upaya pemerintah dalam perlindungan ekosistem gambut dan penegakan hukum yang efektif.

Studi Pantau Gambut dan Kaoem Telapak mengungkapkan ancaman serius lahan gambut akibat regulasi yang lemah dan tata kelola buruk. Foto: Kaoem Telapak
Penegakan Regulasi Lemah
Di sisi lain, studi kasus ini meninjau ulang regulasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan European Union Deforestation-free Regulation (EUDR) dengan menekankan pentingnya perlindungan ekosistem gambut secara lebih mendalam.
Berdasarkan studi tersebut, sertifikasi ISPO di lapangan masih menghadapi tantangan serius. Di antaranya lemahnya penegakan regulasi dan praktik perusahaan yang tidak sesuai prinsip dan kriteria ISPO sesuai Peraturan Menteri Pertanian Nomor 38 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia.
Sedangkan untuk EUDR, keterbatasan terletak pada definisi βhutanβ, yaitu mencakup lahan lebih dari 0,5 hektar dengan pohon setinggi lima meter atau lebih dan tutupan kanopi di atas 10% . Definisi ini kurang memperhatikan ekosistem khusus seperti gambut, yang memiliki peran ekologis penting namun belum terakomodasi sesuai dengan definisi tersebut.

Studi Pantau Gambut dan Kaoem Telapak mengungkapkan ancaman serius lahan gambut akibat regulasi yang lemah dan tata kelola buruk. Foto: Kaoem Telapak
Perusahaan Tidak Patuh
Studi ini juga mengungkapkan ada praktik ketidakpatuhan perusahaan- perusahaan perkebunan kelapa sawit terhadap regulasi yang ada. Hal ini baik di tingkat nasional maupun internasional, terutama dalam konteks pengelolaan lahan gambut.
Hasil studi kasus di Kalimantan Tengah, beberapa perusahaan terbukti melakukan deforestasi serta konversi lahan gambut lindung menjadi perkebunan kelapa sawit. Perusahaan tersebut di antaranya PT Agrindo Green Lestari, PT Citra Agro Abadi, dan PT Bangun Cipta Mitra Perkasa.
Contohnya, PT Citra Agro Abadi (PT CAA) menanam kelapa sawit di kawasan gambut dengan fungsi lindung. Padahal, seharusnya kawasan tersebut tidak dimanfaatkan untuk kegiatan komersial.
Pelanggaran ini tidak hanya menyebabkan kerusakan lingkungan, tetapi juga berdampak negatif pada masyarakat adat yang menggantungkan hidupnya pada ekosistem gambut. Studi juga menunjukkan bahwa PT Bangun Cipta Mitra Perkasa memiliki riwayat kebakaran lahan berulang sejak 2015. Perusahaan ini juga menghadapi persoalan tumpang tindih lahan dengan proyek Food Estate.
Juru Kampanye Kaoem Telapak, Ziadatunnisa Latifa menyebutkan dengan menganalisis kelemahan regulasi yang ada, diharapkan dapat memberikan rekomendasi konkret untuk memperkuat perlindungan lahan gambut.
βHal ini untuk memastikan Indonesia dapat memenuhi komitmennya dalam mitigasi perubahan iklim global dan mencegah deforestasi besar di masa depan,β ucap Zia.
Dengan demikian, upaya konkret untuk perlindungan dan pelestarian ekosistem gambut membutuhkan pendekatan multi-aspek. Hal ini meliputi penguatan peraturan dan penegakan hukum terkait tata kelola perkebunan kelapa sawit di lahan gambut.
Pemerintah perlu memberikan ruang bagi partisipasi masyarakat dalam proses perbaikan peraturan terkait pengelolaan ekosistem gambut. Peningkatan koordinasi antarkementerian dan lembaga yang terkait juga sangat perlu untuk efektivitas pengelolaan tersebut.
Selain itu, perlu advokasi kepada negara-negara konsumen kelapa sawit tentang kerentanan ekosistem gambut. Implementasi sertifikasi kelapa sawit berkelanjutan, seperti ISPO, serta penguatan peraturan seperti EUDR juga menjadi langkah penting dalam perlindungan ekosistem gambut.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia