Noesa, Kemasan Budaya Negeri Dalam Ragam Aksesori

Reading time: 4 menit
Noesa merupakan brand asal Jakarta yang mengadopsi tenun ikat sebagai produk utama. Foto: Noesa.

Jakarta (Greeners) – Indonesia merupakan Negara kepulauan yang banyak menyimpan keragaman budaya. Sobat Greeners, apakah kalian tahu? Per Juni 2020 terdapat total 9.770 warisan budaya yang tercatat dan 1.086 diantaranya telah ditetapkan.

Terdapat banyak cara agar budaya-budaya tersebut tetap lestari di Tanah Air. Sebagai contoh, dalam dunia mode, saat ini banyak produk lokal yang mengawinkan produk mereka dengan warisan budaya dari nenek moyang.

Salah satunya adalah Noesa, Noesa merupakan brand asal Jakarta yang mengaplikasikan tenun ikat dalam pembuatan produknya. Annisa dan Cendy mendirikan Noesa pada tahun 2016. Berawal dari perjalanan mereka ke Flores selama 2 bulan, dan tertarik dengan keindahan kain adat di sana, tepatnya Kabupaten Sikka, Desa Watublapi.

“Waktu di watublapi kayak ini nih yang bagus, aku tuh udah liat tenun tapi ga ada yang secharming kayak yang aku liat di desa watublapi ini,” ucap Annisa kepada Greeners, Rabu (11/08/2021).

Pada kesempatannya, Annisa menjelaskan tenun ikat merupakan warisan budaya yang identik dengan kain dan sarung. Dengan adanya Noesa, mereka ingin mengedukasi generasi muda tentang tenun ikat melalui jenis produk yang banyak digemari, yaitu aksesoris.

“Kami ingin memperkenalkan tenun ikat ke anak-anak muda. Caranya bagaimana, yaitu dengan memberikan bentuk baru dari tenun ikat itu sendiri,” kata Annisa.

Beberapa produk aksesoris Noesa. Foto: Noesa.

Art, Culture, dan Nature

Walaupun pusat Noesa berada di Jakarta, namun seluruh proses produksi berada di Desa Watublapi. Noesa bekerja sama dengan komunitas Watubo untuk memproduksi berbagai macam aksesoris tenun ikat yang polanya sudah didesain oleh Noesa. Hal tersebut bertujuan agar tidak ada bahan yang tersisa dan terbuang.

”Tujuannya mau mengurangi limbah kainnya, karena kan problemnya adalah limbah tekstil tuh banyak yah. Nah semua kain, kita udah bikin cutnya polanya tuh gaada sisa gitu, dan kalaupun ada sisa kain kita olah lagi jadi anting yang kecil-kecil, sampai habis banget lah jadi benang gitu,” jelasnya.

Pada perjalanannya mempelajari tenun ikat, Annisa dan Cendy menemukan tiga hal penting dari tenun ikat sebagai budaya tekstil Indonesia. Ketiga hal tersebut adalah; Art, Culture, dan Nature. Hal itu yang selalu masyarakat Watubo terapkan dalam membuat tenun ikat, lalu Noesa serap sebagai prinsip hingga saat ini.

Produk aksesoris yang  Noesa keluarkan antara lain adalah; camera strap, bandana, dompet, bag strap, anting, dan gelang. Pada masa pandemi, Noesa mengeluarkan beberapa produk baru seperti masker, strap mask dua fungsi sekaligus sebagai tali kacamata, serta pouch hand sanitizer.

Pada perjalanannya mempelajari tenun ikat, Noesa menemukan tiga hal penting dari tenun ikat sebagai budaya tekstil Indonesia, yaitu Art, Culture, dan Nature. Foto: Noesa.

Pewarnaan Alami dari Desa Watublapi

Tidak hanya mengangkat budaya, tenun ikat yang Noesa pakai semua proses produksinya menggunakan bahan-bahan alami, dan tidak menggunakan mesin. Pada proses pewarnaannya, Noesa hanya menggunakan tumbuhan yang ada di Desa Watublapi sebagai sumber warna.

Untuk menghasilkan warna, tumbuhan tersebut mereka olah terlebih dahulu seperti ditumbuk secara manual. Warna kuning berasal dari kunyit, Biru dari indigo, Merah dari akar pohon mengkudu, dan Hijau dari daun turi. Sedangkan warna-warna lain seperti orange merupakan campuran dari kunyit dan akar pohon mengkudu.

Penggunaan warna alami tersebut selain sebagai pencegahan pewarnaan kimia secara berlebihan, juga untuk menjaga kondisi alam pada Desa Watubo.

“Kalau kita pakai pewarnaan kimia itu kan limbahnya dibuang ke kebun yah sementara mereka kan hidupnya itu selain menenun itu berkebun. Nah kalau mereka ngebuang limbahnya ke kebun, tanaman tuh mati makanya mereka mutusin untuk pakai pewarna alami,” tuturnya.

Proses pewarnaan alami dan pembuatan tenun ikat di Desa Watublapi. Foto: Noesa.

Upaya Noesa Dalam Mode Berkelanjutan

Hasil dari pewarnaan tersebut tidak hanya mereka gunakan dalam satu kali proses pewarnaan. Sisa warnanya akan mereka kumpulkan agar dapat digunakan kembali untuk menghemat air.

“Di desa watublapi air sebuah hal yang mahal, kalau pakai pewarna alami itu bisa kita pakai terus. Misalnya kita ngewarnain biru nih sisa warnanya tuh dikumpulin lagi, itu nanti jadi pasta gitu, mereka remake terus sampai habis,” ujar Annisa.

Untuk siklus produksi, Annisa menjelaskan selama tiga bulan Noesa hanya menghasilkan satu kali produksi. Hal tersebut berdasarkan proses pembuatan yang hanya menggunakan tangan, serta menjaga siklus tumbuhan untuk pewarnaan agar dapat bertumbuh dengan baik. Annisa menekankan, mereka dapat melakukan produksi secara banyak apabila terdapat pesanan oleh konsumen. Namun, hal itu akan memakan waktu produksi yang lebih lama dari biasanya.

“Kita small batch production maksudnya nggak masif, gitu terus aku mengukur waktunya juga waktu pembuatannya itu kan nunggu musim tumbuhanya numbuh,” terangnya.

Sebagai mode berkelanjutan, Noesa sangat memperhatikan segala hal yang menyangkut produk dan memegang teguh prinsipnya sejak awal. Untuk menghindari plastik, dalam kemasannya Noesa hanya menggunakan pouch kain yang mereka desain khusus. Pouch tersebut dapat konsumen gunakan kembali, lalu Noesa menggunakan kardus sebagai kemasan akhir.

Penulis: Zahra Shafira

Top