GBCI Menginisiasi Pendirian Lembaga Sertifikasi Produk Hijau

Reading time: 2 menit
Ilustrasi: Ist.

Jakarta (Greeners) – Sumber bahan bangunan yang ramah lingkungan menjadi nilai tambah pada suatu produk atau material dalam menjaga kelestarian lingkungan bumi. Bahan baku bersertifikat lingkungan dan efisiensi pemakaian bahan selama proses produksi pun menjadi sangat penting dalam menghasilkan produk atau material berkualitas dan ramah lingkungan.

Sayangnya, menurut Ketua Green Building Council Indonesia, Naning Adiningsih Adiwoso, saat ini Indonesia masih belum memiliki lembaga sertifikasi resmi terkait produk ramah lingkungan selain yang dilakukan oleh pemerintah. Namun, menurutnya, yang dilakukan pemerintah sendiri pun masih belum berjalan maksimal.

“Bahkan Standar Nasional Indonesia (SNI) saja belum tentu dia itu “green” ya. Karena bicara “green” itu artinya life cycle assessment-nya ada, siklus hidupnya itu jelas, efisiensi energinya pun terukur,” jelas Naning kepada Greeners, Jakarta, Senin (03/07).

Oleh karena itu, lanjut Naning, dirinya bersama dengan enam inisiator dari berbagai macam profesi berencana mendirikan sebuah lembaga non-profit, non-pemerintah bernama Green Product Council Indonesia (GPCI) sebagai lembaga sertifikasi produk “hijau” non-pemerintah pertama di Indonesia.

Tujuan didirikannya GPCI ini, terang Naning, untuk mengukur kesanggupan industri memproduksi produk yang ramah lingkungan. Selain itu, GPCI juga akan mampu melindungi industri dalam negeri dari terpaan produk-produk impor yang merajalela di Indonesia.

“Karena kalau kita tidak punya sertifikasi tentang “green product” ini maka kasihan produk-produk Indonesia, tidak ada yang mengiringinya,” tambah Naning.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) Liana Bratasida menyatakan mendukung dibentuknya GPCI. Namun GPCI nantinya harus memiliki kategori produk yang mana yang akan didahulukan dan kriteria yang jelas dalam menentukan sertifikasi “hijau” tersebut.

“Saya mendukung namun itu tadi semua harus melibatkan semua stakeholder dan lembaga laboratoriumnya harus ada untuk memeriksa itu semua,” tambahnya.

Lebih jauh, Liana yang juga mantan Staf Ahli Menteri Lingkungan Hidup tahun 2004 ini mengaku tengah mendorong pemerintah agar Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) agar bisa diakui oleh Uni Eropa.

Menurutnya, saat ini Uni-Eropa masih belum seratus persen percaya terhadap SVLK. Oleh karena itu, Indonesia harus terus berjuang agar SVLK bisa diterima di seluruh negara tempat industri dalam negeri melakukan ekspor.

“Ini sudah lama sekali tapi Uni-Eropa masih belum mengakui SVLK kita. Kita terus berjuang dan masih dalam proses. Entry point-nya sekarang itu Uni-Eropa. Kalau Uni-Eropa terima, maka seluruh negara pasti menerima SVLK kita,” tutupnya.

Sebagai informasi, “produk hijau” merupakan produk yang selama daur hidupnya sejak diambil dari sumber bahan baku sampai habis masa pakainya tidak menimbulkan pengaruh buruk kepada lingkungan. Selain itu, proses produksinya juga menerapkan efisiensi energi dan air sehingga dapat berkontribusi melestarikan sumber daya alam dan pengurangan emisi.

Penulis: Danny Kosasih

Top