Mufid Daloeang; Menelusuri Jejak Identitas dengan Kertas Daluang

Reading time: 7 menit

Mufid Daloeang - Menelusuri Jejak Identitas dengan Kertas Daluang

Berproses dengan Daluang
“Peso pangot ninggang lontar, daluang katinggang mangsi, sugan bae katuliskeun.”
(Pisau pangot jatuh ke daun lontar, daluang tertimpa tinta, mudah-mudahan saja tertuliskan.)

Tatar Sunda mengenal peso pangot-sejenis pisau berujung runcing untuk menulisi daun lontar, sedangkan alat yang dipakai untuk menulisi daluang adalah kalam dan tinta. Kalimat ini menyiratkan kearifan leluhur yang mengakhiri baris pertama dan kedua dengan kata “katuliskeun” yang bermakna tertakdirkan pada baris ketiga. Bunyi pepatah Sunda lain yang secara langsung menyiratkan kearifan budaya dalam kertas daluang adalah “Neang luang tina daluang” luang adalah pengalaman. Beberapa orang lantas mengartikan daluang  sebagai “dari luang” yang artinya; catatan yang tertoreh di daluang ini sebenarnya adalah dokumentasi dari pengalaman manusia yang berguna untuk sesamanya.

Proses pembuatan kertas daluang sebenarnya sangat sederhana, dimulai dari memotong-motong dan menguliti batang pohon saeh. Lalu kulit pohon direndam di dalam air bersih setelah kulit ari-arinya dibuang terlebih dulu. Setelah itu kulit pohon dipukul-pukul dengan menggunakan alat yang disebut pameupeuh. Kemudian kulit pohon dicuci dan diperas, lalu dipukul-pukul lagi sampai mencapai kelebaran yang diinginkan (biasanya sekitar setengah meter), lalu dijemur sampai setengah kering.

Setelah kering, kemudian direndam lagi lalu diperas dan dilipat untuk dibungkus dengan daun pisang sampai beberapa hari sampai mengeluarkan lendir. Selanjutnya bahan tersebut dibentangkan dan dijemur di atas permukaan batang pohon pisang sampai kering. Selanjutnya kita akan mendapatkan kertas daluang yang siap untuk digunakan. Dari sisi yang menempel pada pohon pisang tersebut kita akan mendapatkan permukaan kertas yang halus. Dan dari sisi yang menghadap ke atas akan kita dapatkan permukaan yang lebih kasar.

Sebenarnya banyak sekali metode pembuatan kertas daluang ini. Seperti yang dijelaskan Mufid, teknik yang digunakan bisa saja sangat beragam. “Biasanya setiap budaya mempunyai tekniknya tersendiri dalam menggarap daluang ini. Disamping terus mempelajari teknik yang digunakan nenek moyang kita dulu, saya juga sedang mempelajari pembuatan daluang dengan teknik-teknik yang lain. Namun proses ini lalu membuat saya menyadari kehebatan para leluhur dulu. Karena sampai saat ini sulit sekali untuk dapat membuat kertas daluang yang dapat menyamai kualitas daluang jaman dahulu. Terutama kertas daluang yang berasal dari Madura yang halus sekali pada kedua sisi permukaannya.”

Keunikan lain dari kertas daluang ini adalah nilai custom-nya. Satu lembar kertas akan berbeda dengan kertas lainnya. Ini dikarenakan oleh teknik pembuatannya yang seratus persen manual, tekstur kertas yang terbentuk oleh karakter serat kulit kayu dapat dipertahankan dan memberi corak keunikan tersendiri pada setiap lembarannya. Mengenai perbedaan kertas daluang antara satu daerah dengan daerah lainnya dapat juga dipelajari, karena pembuatan kertas daluang ini adalah seratus persen alami dari pohon saeh. Maka kualitas kertas pada satu daerah dan daerah lainnya tentu memiliki karakter dan ciri khasnya tersendiri. Misalnya kertas dari Madura tentu tak akan sama dari kertas yang berasal dari daerah Sunda seperti Garut, ataupun dari Jawa seperti daerah Ponorogo. Selain disebabkan oleh faktor cuaca dan keadaan tanah yang berbeda pada lokasi tanaman saeh ini berada, hal ini juga disebabkan karena masing-masing daerah mempunyai teknik tersendiri dalam menggarap pohon saeh ini menjadi kertas daluang. Kertas dari Madura mempunyai permukaan yang lebih halus pada kedua sisinya karena mereka menerapkan sistem pengerjaan yang lebih alot dari pada daerah lainnya di nusantara.

Saat ini, untuk dapat memproduksi kertas daluang Mufid harus mengambil bahan dasarnya (pohon saeh) dari daerah Wanaraja dan Leles di Garut. Ini dikarenakan sulitnya mendapatkan tanaman saeh ini di daerah lain. Meski demikian, ia bertekad untuk mulai membudidayakan tanaman ini di daerah “bengkel” dan tempat tinggalnya sendiri. Kami pun lalu diajak untuk melihat “bayi” dari pohon saeh ini yang mulai banyak tumbuh di sekitar bengkelnya tersebut. Namun untuk dapat melihat tanaman saeh yang siap untuk diolah agaknya kami masih harus menunggu selama kurang lebih enam bulan lagi.

Top