Mufid Daloeang; Menelusuri Jejak Identitas dengan Kertas Daluang

Reading time: 7 menit
Mufid Daloeang - Menelusuri Jejak Identitas dengan Kertas Daluang

Identitas diri tentu tak lepas dari identitas budaya, dan budaya serta merta terbentuk oleh kekayaan dan keanekaragaman hayati di tempat manusia tumbuh berkembang membentuk peradabannya. Lantas apa yang akan terjadi jika manusia telah lupa dan tak peduli terhadap budayanya sendiri? Apakah ia masih dapat dikatakan memiliki identitas? Adalah seorang Mufid Sururi, yang dengan kesadaran penuh, dengan curahan keringat dan perhatian yang seakan tak ada habisnya, berusaha untuk mengingatkan dirinya sendiri agar tak lupa dengan identitasnya sebagai putra Indonesia, khususnya sebagai orang Sunda. Ia berjuang melalui penggalian tanpa henti terhadap tanaman Saeh (paper mulberry / Broussonetia papyfera) sebagai bahan utama kertas daluang – sebuah kertas yang sejak lama dipakai oleh para leluhur untuk menorehkan guratan terawangan dan peristiwa, untuk mendokumentasikan dunianya dan menceritakannya pada anak cucunya kelak.

Oleh Rizky Aghistna | Foto oleh Ferry Perdinan | Artikel ini diterbitkan pada edisi 03 Vol. 2 Tahun 2007

 

Bukan hanya untuk membuka kesempatan berbisnis, bukan pula untuk sekedar mengisi waktu luangnya, namun utamanya untuk bersilaturahmi, untuk mengingatkan diri sendiri agar tak lupa dengan identitas budayanya, lalu untuk mengkomunikasikannya pada orang lain agar ingatan ini sama-sama dijaga dan dipelihara. Itulah jawaban Mufid Sururi (32) ketika ditanya alasan beliau mulai memutuskan untuk berkecimpung di dunia pengolahan kertas berbahan dasar alami (pohon saeh) ini.

Konon kertas daluang telah dijadikan medium untuk menulis semenjak abad ke-13. Ini dibuktikan dengan terdapatnya kertas-kertas peninggalan nenek moyang yang memakainya untuk kepentingan pendidikan, seperti baca-tulis Al-qur’an pada madrasah-madrasah, dan keperluan untuk dokumentasi lokal kala itu, terutama di Madura, lalu di daerah-daerah lainnya seperti Ponorogo dan Garut. Seperti halnya di dalam budaya-budaya lainnya di tanah air, terjadi evolusi penggunaan kertas sebagai medium tulis di dalam budaya Sunda. Sebelum menggunakan kertas daluang, masyarakat tanah air terlebih dulu menggunakan kertas yang terbuat dari daun lontar.

Sampai saat ini masih terjadi kontroversi seputar kapan tepatnya daluang telah menjadi medium tulis “konvensional” yang menggantikan daun lontar. Sementara beberapa dokumen menyebutkan setelah abad ke-17, atau pasca masuknya agama Islam ke tanah air. Beberapa fakta lain menyebutkan bahwa daluang telah dipakai jauh sebelum masa itu. Argumen ini lantas diperkuat dengan bukti fisik berupa pemanfaatan daluang sebagai medium tulis pada Wayang Beber di Pacitan; benda ini diyakini telah muncul pada zaman pra-Majapahit. Sedangkan kalender Hindu-Bali didiagnosis telah menggunakan daluang sebagai bahan kertasnya semenjak lebih dari 300-400 tahun yang lalu. “Jadi jelaslah, bahwa dengan menelusuri sejarah daluang ini maka dengan sendirinya kita juga sedang melakukan suatu upaya penelusuran terhadap sejarah bangsa ini,” tutur Mufid dengan nada pasti.

Menjadi Tamu di Negeri Sendiri
Rasa ketertarikannya terhadap daluang tumbuh sekitar dua tahun yang lalu ketika ia berkenalan dengan Setiawan Sabana, seorang dosen ITB yang waktu itu sedang mengadakan program pengenalan kertas daur ulang. Lalu sekitar setahun yang lalu, melalui perkenalannya dengan seorang dosen Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Tedi Permadi, ia banyak memperoleh ilmu dan informasi mengenai kertas daluang ini. Kebetulan selama ini Tedi memang telah dikenal sebagai seorang yang konsisten meneliti daluang melalui penelusuran terhadap naskah sunda kuno. Dari kedua tokoh di atas, Mufid lalu banyak belajar dan menimba ilmu tentang segala hal yang bersangkutan dengan kertas daluang.

Dengan bekal pendidikan yang dapat dibilang “ala kadarnya”, kiranya tak akan tumbuh semangat dari seorang Mufid Sururi untuk meneliti dan berkarya lebih lanjut mengenai daluang ini. Namun meski hanya lulus SMU, ternyata Beliau mempunyai hasrat dan bakat yang kuat dalam berkesenian, dipadu dengan sifat tekun yang luar biasa. Hal inilah yang menjadi faktor penentu utama bagi Mufid dalam mengambil setiap keputusan dalam hidupnya. Semangat untuk berkarya telah menjadikannya sebagai seorang pengrajin sekaligus seorang seniman dan seorang penjaga kebudayaan yang telah dilupakan oleh bangsanya sendiri.

Perilaku, seperti halnya pemikiran, selalu mengalami sebuah proses evolusi, terutama ketika seseorang mendalami suatu hal dengan curahan perhatian yang sangat tinggi. Adalah pertemuannya dengan seorang Isamu Sakamoto yang membuat Mufid merasakan senang dan sedih pada waktu yang bersamaan. Sakamoto adalah seorang peneliti kertas asal negeri Sakura yang melanglang buana menjelajahi pelosok-pelosok bumi demi melampiaskan cinta dan keingintahuannya terhadap kertas. Semenjak tahun 1998 Sakamoto menjelajahi Indonesia untuk meneliti jenis-jenis kertas di tanah air. Lalu ia pun bekerja sebagai relawan rekondisi dokumen-dokumen administratif di Aceh pasca Tsunami. Rasa senang yang bercampur aduk dengan sedih dialami Mufid ketika ia ternyata lebih banyak diberi pengetahuan tentang daluang ini oleh orang asing. Senang karena ia mendapatkan ilmu pengetahuan yang sangat berlimpah, dan sedih karena ilmu pengetahuan tentang sejarah budaya bangsanya sendiri justru ia dapatkan dari orang asing. “Seakan-akan kita menjadi tamu, dan Sakamoto yang berlaku sebagai tuan rumah, menjelaskan kebudayaannya kepada kita. Dan saya hanya bisa terpagut. Dalam hati saya sungguh merasa sedih dan malu”, kata Mufid. Namun bukanlah seorang Mufid apabila ia terhenti pada titik sedih dan malu. Justru perasaan itulah yang lalu membakar semangatnya untuk lebih dapat bekerja, berkarya, dan bersinar lebih terang!

Top