Menteri Siti Minta Kebijakan SVLK Tetap Konsisten

Reading time: 3 menit
Ilustrasi: answergenesis.org

Jakarta (Greeners) – Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar menyatakan akan tetap memperjuangkan penerapan penuh terhadap Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), termasuk bagi produk mebel dan kerajinan agar tetap berjalan. Secara resmi, Menteri Siti pun telah melayangkan surat kepada Menteri Perekonomian Darmin Nasution yang meminta agar kebijakan SVLK tetap konsisten dalam proses deregulasi peraturan yang sedang dilakukan oleh pemerintah saat ini.

Surat dengan Nomor S.444/MenLHK-PHPL/2015 tertanggal 6 Oktober 2015 yang juga ditembuskan kepada Menteri Perdagangan dan Menteri Perindustrian itu diberikan sebagai respon terhadap terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan (permendag) No.66/M-DAG/PER/8/2015 yang merevisi Permendag No.97/M-DAG/PER/12/2014 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan, serta rencana pembebasan produk mebel dan kerajinan yang termasuk dalam 15 HS Code tak wajib menggunakan dokumen sertifikat legalitas kayu dalam proses ekspor.

“Berdasarkan kesepakatan multi stakeholder, SVLK bersifat mandatori dan diterapkan secara penuh sejak 1 Januari 2013,” tulis Menteri Siti dalam suratnya yang diterima oleh Greeners, Jakarta, Jumat (09/10).

Saat dikonfirmasi, ia pun tidak membantah dan menjelaskan bahwa dalam prosesnya, penggunaan dokumen SVLK memang bertahap pada produk kayu lapis, kayu pertukangan (woodworking), serta bubur kayu (pulp) dan kertas. Pertimbangannya, pelaku usaha kelompok tersebut lebih siap. Sedangkan untuk produk mebel dan kerajinan yang belum siap pada saat tanggal diwajibkannya, yaitu 1 Januari 2013, maka baru akan diwajibkan pada 1 Januari 2014.

Ternyata, dalam perkembangannya, pelaku industri furnitur dan kerajinan ternyata masih belum siap walau sudah diberi keringanan kewajiban. Maka untuk menanggapi permasalahan tersebut, berdasarkan kesepakatan bersama tiga menteri yaitu Menteri Perdagangan, Menteri Lingkungan hidup dan Menteri Perindustrian, maka diberlakukan kebijakan transisi berupa penggunaan dokumen Deklarasi Ekspor (DE), yang berlaku hingga 31 Desember 2015.

Menteri Siti mengingatkan bahwa SVLK telah mendapat pengakuan internasional. Bahkan Uni Eropa telah mengakui SVLK bisa memenuhi Timber Regulation UE. Indonesia-UE sendiri memiliki perjanjian kemitraan sukarela (VPA) untuk penegakan hukum, perbaikan tata kelola dan perdagangan sektor kehutanan (FLEGT), dimana Indonesia telah meratifikasi perjanjian tersebut berdasarkan Peraturan Presiden No 21 tahun 2014. Saat ini Indonesia-UE sedang dalam tahap finalisasi pemberlakukan lisensi FLEGT dimana produk mebel termasuk dalam perjanjian tersebut.

“Berdasarkan data Sistem Informasi Legalitas Kayu, eksportir pengguna DE ternyata tak signifikan. Sampai September 2015, tercatat ada 397 industri kecil dan menengah (IKM) yang melakukan ekspor dengan menggunakan DE. Nilai ekspornya 162,3 juta dolar AS. Nilai tersebut hanya sebesar 2,02% dari total nilai ekspor produk kehutanan yang tercatat 8 miliar dollar AS. Pada saat yang sama ada juga produk mebel dan kerajinan yang ekspornya menggunakan dokumen SVLK tercatat 1,4 miliar dollar AS atau mencapai 17,70% dari total nilai ekspor,” tambahnya.

Sementara itu, pada kesempatan berbeda, Ditjen Pengembangan Ekspor Nasional (PEN) Kementerian Perdagangan (Kemendag) melalui Direktur Jenderal PEN Kemendag, Nus Nuzulia Ishak mengklaim, keberadaan DE justru memperlancar keberlangsungan pengusaha kayu tingkat kecil dan menengah. Menurutnya, Deklarasi Ekspor cukup membantu pengusaha kecil menengah.

Ketentuan tersebut menunda implementasi penuh SVLK dengan membolehkan ekspor produk mebel dan kerajinan dengan menggunakan dokumen DE tanpa batas waktu. Bahkan, saat ini ketentuan tersebut sedang dalam proses untuk revisi kembali sehingga dokumen DE tidak lagi diperlukan.

Artinya, ujar Nus, ekspor mebel dan kerajinan benar-benar terlepas dari SVLK. Ia beranggapan bahwa SVLK akan memberatkan IKM karena untuk mendapatkan SVLK harus memiliki dana khusus. Maka dari itu, keberadaan Deklarasi Ekspor akan memudahkan IKM dalam mengakses pasar internasional.

“Kami ingin agar potensi ekspor produk kayu di sektor hilir tidak banyak hambatan. Terlebih, saat ini kondisinya stagnan. Pada periode 2010-2014, pertumbuhannya stagnan di angka tiga persen. Ini harus ditingkatkan karena revenue-nya juga besar,” ujarnya.

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia Lisman Sumardjani menyatakan SVLK sebenarnya memberi perlindungan bagi pelaku IKM mebel agar tetap bisa menembus pasar. Saat ini pasar internasional terus menuntut sertifikat ekolabel. Jika memanfatkan sertifikat ekolabel sukarela maka biaya yang harus dikeluarkan pasti akan jauh lebih besar.

“Bagi eksportir mebel besar, mereka tak kesulitan ketika konsumen menuntut berbagai sertifikat karena sudah punya semua. Namun bagi eksportir skala kecil yang hanya mengekspor sesekali, biasanya tak punya macam-macam sertifikat. Makanya butuh SVLK,” kata Lisman

Penulis: Danny Kosasih

Top