PT RAPP Menghentikan Seluruh Kegiatan Operasional

Reading time: 2 menit
pt rapp
KLHK pernah melakukan aksi pencabutan akasia di areal gambut bekas terbakar PT BAP pada 13 Februari 2017 lalu. Foto: KLHK

Jakarta (Greeners) – Menyusul diterbitkannya SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Men LHK) tentang pembatalan keputusan Menteri Kehutanan No. SK.93/VI BHUT/2013 tentang persetujuan revisi Rencana Kerja Usaha – Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri (RKU – PHHK HTI) untuk jangka waktu 10 tahun periode 2010 -2019, maka seluruh kegiatan operasional HTI PT RAPP harus berhenti.

Direktur Operasional PT RAPP Ali Sabri dalam keterangan persnya mengatakan bahwa terhitung tanggal 18 Oktober 2017, pukul 00.00 WIB, seluruh operasi HTI PT RAPP berhenti. Operasional perusahaan yang dihentikan meliputi kegiatan pembibitan, penanaman, pemanenan, dan pengangkutan di seluruh areal operasional PT RAPP yang terdapat di 5 kabupaten di Provinsi Riau, yakni Pelalawan, Kuantan Singingi, Siak, Kampar, dan Meranti.

“Secara efektif RKU tidak berlaku lagi begitu SK pembatalan kami terima. Itu artinya operasional PT RAPP harus berhenti,” katanya, Jakarta, Kamis (19/10).

BACA JUGA: KLHK Terbitkan Peraturan Menteri Terkait Mekanisme Penggantian Lahan Usaha

Ia menuturkan bahwa sebelumnya, PT RAPP telah menerima Surat Peringatan Pertama pada 28 September 2017, lalu pada 6 Oktober PT RAPP kembali mendapat Surat Peringatan Kedua, dan pada 17 Oktober KLHK memberikan Surat Pembatalan RKU. Padahal, katanya, terdapat ribuan tenaga kerja langsung dan puluhan ribu tenaga kerja tidak langsung serta para kreditur, pemasok, kontraktor, hingga pelanggan yang hidupnya tergantung pada beroperasinya PT RAPP.

“Ini dampaknya kami terpaksa merumahkan 4.600 karyawan kehutanan HTI dan transportasi secara bertahap. Selain itu 1.300 karyawan pabrik berpotensi di rumahkan dan juga kami harus memutus kontrak kerja dengan pemasok bahan baku pabrik yang secara total memiliki 10.200 karyawan,” ujarnya.

Di sisi lain, Wakil Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), Made Ali kepada Greeners mengatakan bahwa operasional kerja PT RAPP berhenti karena RAPP tidak memenuhi ketentuan untuk merevisi rencana kerja umum (RKU) dan rencana kerja tahunan (RKT) pemanfaatan hasil hutan kayu–hutan tanaman industri. Surat dari KLHK, terusnya, adalah tindak lanjut dari evaluasi pemerintah dalam kasus kebakaran hutan hebat yang terjadi tahun 2015 yang juga ditemukan di konsesi-konsesi gambut milik RAPP.

“Pemerintah seharusnya meninjau ulang izin RAPP bukan hanya memberikan peringatan. Kalau saja RAPP langsung merevisi RKU dan RKT-nya, maka operasional pasti juga segera aktif kembali,” jelas Made.

BACA JUGA: KLHK Cabut Tanaman Akasia di Lahan Gambut Miliki PT BAP

Lebih jauh, ia pun mengamini bahwa selama ini RAPP telah berbohong dengan mengatakan telah merevisi RKU saat turun surat peringatan ke dua dari KLHK. Selain itu, Jikalahari juga menganggap kebohongan RAPP pun terlihat dari pernyataan RAPP yang mengatakan mendapat surat peringatan dari KLHK hanya dalam hitungan hari. Padahal semua proses komunikasi perihal RKU antara perusahaan dan KLHK sudah dimulai sejak 19 Mei 2017. Selama proses tersebut, pihak RAPP nyaris menutup diri dari proses transparansi penyusunan RKU sesuai Peraturan Pemerintah tentang gambut.

“Mereka memanipulasi seolah-olah sudah mengikuti amanat PP gambut, namun masih tetap mau menanam di kawasan lindung ekosistem gambut. Kan ini yang akhirnya membuat KLHK bersikap tegas dengan mengeluarkan surat peringatan ke dua,” katanya.

Sebagai informasi, PT RAPP diminta memperbaiki rencana kerja 10 tahun yang sejalan dengan rencana kerja tahunan pada 2017 karena RKU-nya dianggap tidak sesuai dengan aturan tata kelola gambut yang baru. Pada Maret 2017, KLHK memberikan sanksi administratif kepada PT RAPP Estate Pelalawan agar perusahaan itu mencabut akasia yang telah ditanami. Selain itu, perusahaan juga diminta untuk membersihkan biomassa bekas pencabutan tanaman akasia serta melakukan penutupan kanal baru yang dibuka.

Larangan pembukaan lahan baru dan pembangunan kanal tercantum dalam Pasal 26 Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Pasal itu menyebutkan bahwa setiap orang dilarang membuka lahan dan kanal baru di ekosistem gambut dengan fungsi lindung dengan membakar, dan melakukan kegiatan lain yang mengakibatkan kerusakan ekosistem gambut.

Penulis: Danny Kosasih

Top